Jumat, 17 Februari 2012

#Cerpen keempat


Sapaan Sahabat
Oleh : Yusna Fadliyyah Apriyanti
                Dinding Asrama yang putih bersih akhirnya harus rela menjadi pelampiasan rasa yang sedang memenuhi hati Ica. Dia menggores dinding itu dan menuliskan sebuah kata “Ayah, cepat sembuh. Ica kangen sama Ayah”. Begitulah, perasaan khawatir mampu membawa yang sedang dirasukinya berbuat tanpa memikirkan peraturan yang sudah terpampang di dinding “DILARANG MENCORET-MECORET DINDING!!”.
                Sudah 2 minggu Ica memndapat kabar sendu dari rumah. Ayah harus dirawat di rumah sakit dengan tubuh lemahnya selama dokter sedang melakukan observasi atas keluhannya selama ini. Awalnya Ica hanya menanggap hal itu biasa, tapi semua berubah jadi pilu ketika Ibu menelepon dan meminta do’a Ica, karena diagnosa dokter, ayah mengalami penyakit hepatitis akut. Disaat Ica harus fokus dengan Ujian Nasional yang semakin dekat, disisi lain, ia tidak bisa berhenti memikirkan keadaan Ayah.
***
                Saat upacara berlangsung, tiba-tiba Ica dipanggil ke Pusat Informasi dengan keterangan ‘Bibinya menunggu’. Aku yang saat itu sedang berdiri disampingnya, ikut menemani ke Pusat Informasi. Aku bingung melihat wajahnya yang pucat. Tak berfikir panjang, aku memegang tangannya erat dan mentransferkan ketenangan kepadanya. Dia hanya tersenyum kecil membalasnya.
                “Kenapa Bibi datang?”. Ica gusar saat melihat mata Bibi yang bengkak. Sepertinya ia menyimpan kesedihan yang sangat dalam. Aku tak kuasa menahan hatiku yang semakin tak tenang. “Jangan kabar buruk Ya Allah”, bisikku dalam hati.
                “Ayo kita pulang, Ayah sedang koma di rumah sakit”. Ica menangis lepas. Walau aku sedih melihatnya, tapi hatiku agak tenang karena kabar ini tak seburuk bayanganku. Ica tergagap bingung dibuatnya, aku menarik tangan Ica dan berjanji akan membantu meminta izin pulang oleh pihak asrama. Selama di perjalanan Ica tak berhenti menangis, bahkan makin keras hingga sulit mengatur nafas.
                “Sabar Ica sayang, Innallaha ma’ana”. Aku hanya bisa mengelus pundaknya dan memberikan kekuatan.
***
                Perizinan tak sesulit yang kubayangkan. Aku bahkan diizinkan untuk menemani Ica selama menengoki ayahnya di rumah sakit. Ica berkali-kali berterimakasih padaku, karena aku telah membantunya. Padahal menurutku, hal itu tidak perlu, toh kita memang bersahabat. Menurutku, inilah kewajibanku sebagai seorang sahabat, bukan hanya sekedar simpati.
                Kami segera berangkat menuju rumah sakit. Kenyataan berbeda yang kita dapat. Bibi berbohong pada kami. kita bukan pergi ke rumah sakit tapi pulang ke rumah Ica.  Sesuai dengan firasat awalku. Ica terus menerus menangis, apalagi setelah melihat bendera kuning yang terikat di tiang depan gang rumahnya. Ayah meninggal pagi tadi dan Ibu menyuruh Bibi menjemput Ica dan menyuruh Bibi untuk menutup dulu kabar duka ini.
“Ayah” Ica terus teriak memanggil ayahnya. Bibi yang melihat Ica tak mampu lagi berkata. Aku selalu ada disisi Ica dan mencoba meredakan tangisannya. Tangisan yang memang sulit untuk ditahan, sebuah kesedihan yang merengkuh dirinya jauh kedepan. Sebuah kenyataan pahit yang menelisik ke masa depan, bahwa Ica mulai sekarang menjadi seorang anak yatim.
                Ayah sudah dibalut kain kafan, mereka sekeluarga berencana menguburnya setelah Ica pulang ke rumah. Ibunya terdiam lemah disisi jasad ayah, Kedua kakak Ica memeluk Ica erat tanpa kata. Suasana sore yang sendu di rumah Ica. Sepulang dari pemakaman aku pamit pulang karena memang tak mendapat izin lebih dari pondok. Rasanya ingin terus menemani setiap detik Ica, tapi aku tak kuasa. Besok jadwal terakhir aku mengirimkan syarat-syarat mendapatkan beasiswa ke Universitas impianku, yang sebenernya semua itu masih semu.
                “Ica, aku minta maaf tidak bisa lama menemanimu. Sabar yah sayang, ingat Allah sedang mengujimu. Semua kita akan kembali kepadaNya, insya Allah selalu ada hikmah dibalik ini semua. Aku yakin, Ica pasti bisa kuat mengahadapi cobaan ini. Semangat yah sayang”. Kata-kata semangat mengakhiri pertemuanku dengannya. Ica mengiyakan dan tersenyum dihadapanku. Aku tahu, Ica masih sulit berbicara karena kenyataan ini.
***
                Seminggu setelah itu, Ica kembali ke pondok. Aku menyambutnya dengan senyuman. Teman-teman sekamar sudah ku kondisikan agar selama sebulan ini tidak menyinggung masalah ayah Ica, atau bahkan sekedar bercerita tentang orangtua masing-masing anak. Ica kembali dengan wajah yang murung. Ibunya menitipkan Ica kepadaku, dan memintaku membuat Ica kembali tersenyum. Walau tak menjanjikan, tapi aku mengiyakan permintaanya.
                Nilai-nilai Ica menurun drastis, aku iba melihat keadaanya saat ini. Ica seakan tak punya semangat hidup. Seusai jam sekolah, ia selalu memilih menetap sendiri di dalam kelas dan menyuruhku meninggalkannya. Aku bingung mengahadapi Ica yang dingin. Seusai sholat, selalu ku lihat isak tangis yang menandakan kesedihan yang masih membelenggunya.
***
                Ujian Nasional tinggal satu minggu, kami harus mempersiapkan diri matang-matang. Suatu saat pernah kulihat buku yang penuh dengan coretan di atas meja Ica, disana ada sebuah tulisan yang menyesakkan
                “Ayah, kau inspirasiku. Sekarang aku seperti kehilangan nyawa sepeninggalanmu. Aku belum siap menghadapi Ujian Nasional dan aku pasti akan gagal dalam mendapatkan Universitas nantinya. Aku rindu semangat darimu, yang selalu bisa menyihirku hingga dapat menggapai apa yang kuinginkan. Aku ingin mati juga ayah, jemput aku”
                Walau hanya coretan, tapi bagiku semua ini bermakna dalam. Aku harus segera membangkitkan semangatnya. Masih ada satu minggu untuk membuat Ica kembali sadar mengahadapi kehidupan ini. Aku tahu, Ica bukan orang yang bodoh, ia termasuk santri yang mendapat nilai teratas setiap tahunnya.
***
                Aku menunggu Ica selesai berdoa, dan menahannya di depanku. Dengan nafas panjang dan membaca basmalah. Akhirnya kuluapkan semuanya.
                “Ica! Jangan jadi orang bodoh mengahadapi semua ini”. Hentakku di depannya. Ica terkaget melihat wajah merah padamku.
                “Aku tahu, sulit ditinngal seorang ayah, tapi ingat Ca, kamu masih punya Allah. Walau aku memang belum pernah merasakan kesedihan mendalam ini. Tapi yang aku tahu, semua ini memang hukum alam. Ikhlas Ca, Ikhlas..”. Aku menangis di depannya. Entah dari kapan, semua ini ingin ku ungkapkan tapi selalu ku urung.
                “Maafkan aku, tapi sulit bagiku menyadari kenyataan ini. Aku bingung la, ayah yang membiayaiku selama ini. Kedua kakaku juga masih kuliah La. Aku lebih baik di keluarkan dari pondok ini sekarang dari pada harus menghadapi cita-cita yang tak bisa kugapai nantinya, aku ingin mati La”. Aku tahu, Ica tidak menyadari apa yang sedang ia katakan saat itu. Aku juga tak menyangka bahwa masalahnya serumit ini. Segera kupeluk tubuhnya yang lesu.
                “Maafkan aku Ica, aku kira kau begini karena masih tidak bisa menerima kehendak Allah terhadap Ayahmu, ternyata ada beban yang lebih mendalam dibaliknya. aku janji akan membantumu mencari beasiswa nantinya. Aku rindu semangatmu dahulu kawan. Kembalilah, mari berjuang bersama menggapai kesuksesan itu”.
                “Ia La, terimakasih karena selalu memikirkanku, maafkan aku yang bodoh menghadapi cobaan ini”.
***
                Seminggu kami lewati dengan semangat baru. Ica kembali tersenyum dan menghabiskan waktu dengan buku latihan soal, begitu pula aku. Kita belajar bersama hingga siap menghadapi Ujian Nasional. Ujian Nasional kami lalui dengan jawaban terbaik. Hari demi hari berlalu hingga semua ujian telah terlewati, tinggal tawakal pada Allah dalam menunggu hasilnya nanti.
Ica menceritakan padaku tawaran guru mengikuti tes beasiswa di Universitas Swasta idaman kami. Kami kembali belajar untuk mempersiapkan hari H yang kian datang. Setelah melewati tes-nya, kami kembali mempasrahkan semuanya pada Ilahi. Sebenarnya harapanku baru saja pupus ketika tidak mendapatkan hasil yang baik dari syarat-syarat yang dahulu pernah kukirimkan kepada suatu Universitas Negeri impianku. Tapi rasa kecewa itu terobati dengan mengikuti tes beasiswa ini.
***
                “Lula, kamu lulus tes beasiswa ini dan besok harus sudah mengirimkan identitas lengkapmu ke alamat Universitas Swasta itu”. Kabar gembira itu akhirnya kudengar, setelah Pak Latif guruku memanggilku ke ruang guru.
                “Alhamdulillah, lalu bagaimana dengan Ica pak?”. Tanyaku dengan semangat, aku yakin pasti dia juga berhasil mendapatkan beasiswa ini. Tapi melihat wajah Pak Latif, aku jadi ragu.
                “Maafkan bapak, Ica belum lulus la”. Bapak dengan berat memberitahuku.
                “Kalau begitu, bagaimana kalau saya mengundurkan diri, dan memberikan semua beasiswa ini padanya pak? “. Walau berat, aku tahu beasiswa ini lebih dibutuhkan oleh Ica.
                “Bagaimana kau bisa segampang itu memberikan semua ini pada Ica? Bapak juga tahu kau harus mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studimu nak”. Bapak memang sudah memahami latar belakang keluargaku yang kurang mampu. Tapi setelah kupikirkan dengan matang, aku yakin akan pilihanku ini.
                “Tidak masalah pak, saya yakin bisa mendapatkan kesempatan yang lain. Sedangkan, saya begitu rapuh jika harus menyaksikan kesedihan lagi diraut wajah sahabat saya itu pak. Biarkan saya dan bapak saja yang tahu hal ini”. Aku tersenyum pasti dan memohon dengan pandangan lekat.
                “Baiklah, Ica memang masuk dalam daftar santri cadangan yang mendapatkan beasiswa ini. Bapak do’akan semoga Allah memberikan berkahnya kepadamu yang ikhlas melakukan ini semua”. Jawab Pak Latif dengan bijak.
***
                Sepulang dari ruang guru, aku segera memberitahukan kabar gembira itu pada Ica sahabatku. Ica sangat senang mendengarnya. Saat ia menanyakan bagaimana dengan hasilku, aku hanya mengatakan bahwa aku gagal dan dengan semangat aku meyakinkannya, bahwa Allah pasti akan memberikan kepadaku sesuatu hal yang lebih indah.
                Aku melewati hariku dengan mencari-cari lagi peluang mendapatkan beasiswa. Kebanyakan beasiswa ditawarkan ketika kita telah menjadi mahasiswa disuatu universitas, tapi aku juga harus memperhitungkan biaya awal masuknya jika seperti itu. Aku melewati hariku dengan buku contah soal SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) karena yang kutahu, jalur ini lah yang paling murah untuk tahap awal masuk universitas impianku. Ica selalu menyemangatiku selama itu.
                Sungguh selalu ada rahasia dibalik skenario besarNya itu. Ketika kita ikhlas melepas sesuatu, disaat bersamaan Allah gantikan dengan hal yang lebih indah dari apa yang aku bayangkan. Akhirnya surat syarat-syarat beasiswaku terbalas juga. Aku diterima masuk Universitas Negeri impianku itu tanpa tes masuk apapun. Mereka menerimaku, karena melihat nilai bahasaku yang bagus. Aku sungguh bahagia dengan semua ini. Ica memberiku selamat dan memintaku berjanji tidak akan melupakannya walau nantinya kita akan kuliah di tempat yang terletak jauh.

1 komentar:

  1. wah pas baca nama pak latif langsung ketawa yuyun :D
    jadi inget pas ngurus beasiswa depag tea :)

    BalasHapus