Sapaan Sahabat
Oleh : Yusna
Fadliyyah Apriyanti
Dinding
Asrama yang putih bersih akhirnya harus rela menjadi pelampiasan rasa yang
sedang memenuhi hati Ica. Dia menggores dinding itu dan menuliskan sebuah kata
“Ayah, cepat sembuh. Ica kangen sama Ayah”. Begitulah, perasaan khawatir mampu
membawa yang sedang dirasukinya berbuat tanpa memikirkan peraturan yang sudah
terpampang di dinding “DILARANG MENCORET-MECORET DINDING!!”.
Sudah
2 minggu Ica memndapat kabar sendu dari rumah. Ayah harus dirawat di rumah
sakit dengan tubuh lemahnya selama dokter sedang melakukan observasi atas
keluhannya selama ini. Awalnya Ica hanya menanggap hal itu biasa, tapi semua
berubah jadi pilu ketika Ibu menelepon dan meminta do’a Ica, karena diagnosa
dokter, ayah mengalami penyakit hepatitis akut. Disaat Ica harus fokus dengan
Ujian Nasional yang semakin dekat, disisi lain, ia tidak bisa berhenti
memikirkan keadaan Ayah.
***
Saat
upacara berlangsung, tiba-tiba Ica dipanggil ke Pusat Informasi dengan
keterangan ‘Bibinya menunggu’. Aku yang saat itu sedang berdiri disampingnya,
ikut menemani ke Pusat Informasi. Aku bingung melihat wajahnya yang pucat. Tak
berfikir panjang, aku memegang tangannya erat dan mentransferkan ketenangan
kepadanya. Dia hanya tersenyum kecil membalasnya.
“Kenapa
Bibi datang?”. Ica gusar saat melihat mata Bibi yang bengkak. Sepertinya ia
menyimpan kesedihan yang sangat dalam. Aku tak kuasa menahan hatiku yang
semakin tak tenang. “Jangan kabar buruk Ya Allah”, bisikku dalam hati.
“Ayo
kita pulang, Ayah sedang koma di rumah sakit”. Ica menangis lepas. Walau aku
sedih melihatnya, tapi hatiku agak tenang karena kabar ini tak seburuk
bayanganku. Ica tergagap bingung dibuatnya, aku menarik tangan Ica dan berjanji
akan membantu meminta izin pulang oleh pihak asrama. Selama di perjalanan Ica
tak berhenti menangis, bahkan makin keras hingga sulit mengatur nafas.
“Sabar
Ica sayang, Innallaha ma’ana”. Aku hanya bisa mengelus pundaknya dan memberikan
kekuatan.
***
Perizinan
tak sesulit yang kubayangkan. Aku bahkan diizinkan untuk menemani Ica selama
menengoki ayahnya di rumah sakit. Ica berkali-kali berterimakasih padaku,
karena aku telah membantunya. Padahal menurutku, hal itu tidak perlu, toh kita
memang bersahabat. Menurutku, inilah kewajibanku sebagai seorang sahabat, bukan
hanya sekedar simpati.
Kami
segera berangkat menuju rumah sakit. Kenyataan berbeda yang kita dapat. Bibi
berbohong pada kami. kita bukan pergi ke rumah sakit tapi pulang ke rumah
Ica. Sesuai dengan firasat awalku. Ica
terus menerus menangis, apalagi setelah melihat bendera kuning yang terikat di
tiang depan gang rumahnya. Ayah meninggal pagi tadi dan Ibu menyuruh Bibi
menjemput Ica dan menyuruh Bibi untuk menutup dulu kabar duka ini.
“Ayah” Ica terus
teriak memanggil ayahnya. Bibi yang melihat Ica tak mampu lagi berkata. Aku
selalu ada disisi Ica dan mencoba meredakan tangisannya. Tangisan yang memang
sulit untuk ditahan, sebuah kesedihan yang merengkuh dirinya jauh kedepan.
Sebuah kenyataan pahit yang menelisik ke masa depan, bahwa Ica mulai sekarang
menjadi seorang anak yatim.
Ayah
sudah dibalut kain kafan, mereka sekeluarga berencana menguburnya setelah Ica
pulang ke rumah. Ibunya terdiam lemah disisi jasad ayah, Kedua kakak Ica
memeluk Ica erat tanpa kata. Suasana sore yang sendu di rumah Ica. Sepulang
dari pemakaman aku pamit pulang karena memang tak mendapat izin lebih dari
pondok. Rasanya ingin terus menemani setiap detik Ica, tapi aku tak kuasa.
Besok jadwal terakhir aku mengirimkan syarat-syarat mendapatkan beasiswa ke
Universitas impianku, yang sebenernya semua itu masih semu.
“Ica,
aku minta maaf tidak bisa lama menemanimu. Sabar yah sayang, ingat Allah sedang
mengujimu. Semua kita akan kembali kepadaNya, insya Allah selalu ada hikmah
dibalik ini semua. Aku yakin, Ica pasti bisa kuat mengahadapi cobaan ini.
Semangat yah sayang”. Kata-kata semangat mengakhiri pertemuanku dengannya. Ica
mengiyakan dan tersenyum dihadapanku. Aku tahu, Ica masih sulit berbicara
karena kenyataan ini.
***
Seminggu
setelah itu, Ica kembali ke pondok. Aku menyambutnya dengan senyuman. Teman-teman
sekamar sudah ku kondisikan agar selama sebulan ini tidak menyinggung masalah
ayah Ica, atau bahkan sekedar bercerita tentang orangtua masing-masing anak.
Ica kembali dengan wajah yang murung. Ibunya menitipkan Ica kepadaku, dan
memintaku membuat Ica kembali tersenyum. Walau tak menjanjikan, tapi aku
mengiyakan permintaanya.
Nilai-nilai
Ica menurun drastis, aku iba melihat keadaanya saat ini. Ica seakan tak punya
semangat hidup. Seusai jam sekolah, ia selalu memilih menetap sendiri di dalam
kelas dan menyuruhku meninggalkannya. Aku bingung mengahadapi Ica yang dingin.
Seusai sholat, selalu ku lihat isak tangis yang menandakan kesedihan yang masih
membelenggunya.
***
Ujian
Nasional tinggal satu minggu, kami harus mempersiapkan diri matang-matang.
Suatu saat pernah kulihat buku yang penuh dengan coretan di atas meja Ica,
disana ada sebuah tulisan yang menyesakkan
“Ayah, kau inspirasiku. Sekarang aku seperti
kehilangan nyawa sepeninggalanmu. Aku belum siap menghadapi Ujian Nasional dan
aku pasti akan gagal dalam mendapatkan Universitas nantinya. Aku rindu semangat
darimu, yang selalu bisa menyihirku hingga dapat menggapai apa yang kuinginkan.
Aku ingin mati juga ayah, jemput aku”
Walau
hanya coretan, tapi bagiku semua ini bermakna dalam. Aku harus segera
membangkitkan semangatnya. Masih ada satu minggu untuk membuat Ica kembali
sadar mengahadapi kehidupan ini. Aku tahu, Ica bukan orang yang bodoh, ia
termasuk santri yang mendapat nilai teratas setiap tahunnya.
***
Aku
menunggu Ica selesai berdoa, dan menahannya di depanku. Dengan nafas panjang
dan membaca basmalah. Akhirnya kuluapkan semuanya.
“Ica!
Jangan jadi orang bodoh mengahadapi semua ini”. Hentakku di depannya. Ica
terkaget melihat wajah merah padamku.
“Aku
tahu, sulit ditinngal seorang ayah, tapi ingat Ca, kamu masih punya Allah.
Walau aku memang belum pernah merasakan kesedihan mendalam ini. Tapi yang aku
tahu, semua ini memang hukum alam. Ikhlas Ca, Ikhlas..”. Aku menangis di
depannya. Entah dari kapan, semua ini ingin ku ungkapkan tapi selalu ku urung.
“Maafkan
aku, tapi sulit bagiku menyadari kenyataan ini. Aku bingung la, ayah yang
membiayaiku selama ini. Kedua kakaku juga masih kuliah La. Aku lebih baik di
keluarkan dari pondok ini sekarang dari pada harus menghadapi cita-cita yang
tak bisa kugapai nantinya, aku ingin mati La”. Aku tahu, Ica tidak menyadari
apa yang sedang ia katakan saat itu. Aku juga tak menyangka bahwa masalahnya
serumit ini. Segera kupeluk tubuhnya yang lesu.
“Maafkan
aku Ica, aku kira kau begini karena masih tidak bisa menerima kehendak Allah
terhadap Ayahmu, ternyata ada beban yang lebih mendalam dibaliknya. aku janji
akan membantumu mencari beasiswa nantinya. Aku rindu semangatmu dahulu kawan.
Kembalilah, mari berjuang bersama menggapai kesuksesan itu”.
“Ia
La, terimakasih karena selalu memikirkanku, maafkan aku yang bodoh menghadapi
cobaan ini”.
***
Seminggu
kami lewati dengan semangat baru. Ica kembali tersenyum dan menghabiskan waktu
dengan buku latihan soal, begitu pula aku. Kita belajar bersama hingga siap
menghadapi Ujian Nasional. Ujian Nasional kami lalui dengan jawaban terbaik.
Hari demi hari berlalu hingga semua ujian telah terlewati, tinggal tawakal pada Allah dalam menunggu
hasilnya nanti.
Ica menceritakan
padaku tawaran guru mengikuti tes beasiswa di Universitas Swasta idaman kami.
Kami kembali belajar untuk mempersiapkan hari H yang kian datang. Setelah
melewati tes-nya, kami kembali
mempasrahkan semuanya pada Ilahi. Sebenarnya harapanku baru saja pupus ketika
tidak mendapatkan hasil yang baik dari syarat-syarat yang dahulu pernah
kukirimkan kepada suatu Universitas Negeri impianku. Tapi rasa kecewa itu
terobati dengan mengikuti tes beasiswa ini.
***
“Lula,
kamu lulus tes beasiswa ini dan besok harus sudah mengirimkan identitas
lengkapmu ke alamat Universitas Swasta itu”. Kabar gembira itu akhirnya
kudengar, setelah Pak Latif guruku memanggilku ke ruang guru.
“Alhamdulillah,
lalu bagaimana dengan Ica pak?”. Tanyaku dengan semangat, aku yakin pasti dia
juga berhasil mendapatkan beasiswa ini. Tapi melihat wajah Pak Latif, aku jadi
ragu.
“Maafkan
bapak, Ica belum lulus la”. Bapak dengan berat memberitahuku.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau saya mengundurkan diri, dan memberikan semua beasiswa
ini padanya pak? “. Walau berat, aku tahu beasiswa ini lebih dibutuhkan oleh
Ica.
“Bagaimana
kau bisa segampang itu memberikan semua ini pada Ica? Bapak juga tahu kau harus
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studimu nak”. Bapak memang sudah
memahami latar belakang keluargaku yang kurang mampu. Tapi setelah kupikirkan
dengan matang, aku yakin akan pilihanku ini.
“Tidak
masalah pak, saya yakin bisa mendapatkan kesempatan yang lain. Sedangkan, saya
begitu rapuh jika harus menyaksikan kesedihan lagi diraut wajah sahabat saya
itu pak. Biarkan saya dan bapak saja yang tahu hal ini”. Aku tersenyum pasti
dan memohon dengan pandangan lekat.
“Baiklah,
Ica memang masuk dalam daftar santri cadangan yang mendapatkan beasiswa ini.
Bapak do’akan semoga Allah memberikan berkahnya kepadamu yang ikhlas melakukan
ini semua”. Jawab Pak Latif dengan bijak.
***
Sepulang
dari ruang guru, aku segera memberitahukan kabar gembira itu pada Ica
sahabatku. Ica sangat senang mendengarnya. Saat ia menanyakan bagaimana dengan
hasilku, aku hanya mengatakan bahwa aku gagal dan dengan semangat aku
meyakinkannya, bahwa Allah pasti akan memberikan kepadaku sesuatu hal yang
lebih indah.
Aku
melewati hariku dengan mencari-cari lagi peluang mendapatkan beasiswa.
Kebanyakan beasiswa ditawarkan ketika kita telah menjadi mahasiswa disuatu
universitas, tapi aku juga harus memperhitungkan biaya awal masuknya jika
seperti itu. Aku melewati hariku dengan buku contah soal SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) karena yang kutahu, jalur ini lah yang
paling murah untuk tahap awal masuk universitas impianku. Ica selalu
menyemangatiku selama itu.
Sungguh
selalu ada rahasia dibalik skenario besarNya itu. Ketika kita ikhlas melepas
sesuatu, disaat bersamaan Allah gantikan dengan hal yang lebih indah dari apa
yang aku bayangkan. Akhirnya surat syarat-syarat beasiswaku terbalas juga. Aku
diterima masuk Universitas Negeri impianku itu tanpa tes masuk apapun. Mereka
menerimaku, karena melihat nilai bahasaku yang bagus. Aku sungguh bahagia
dengan semua ini. Ica memberiku selamat dan memintaku berjanji tidak akan
melupakannya walau nantinya kita akan kuliah di tempat yang terletak jauh.
wah pas baca nama pak latif langsung ketawa yuyun :D
BalasHapusjadi inget pas ngurus beasiswa depag tea :)