Kamis, 19 Januari 2012

[COPAST] Abdurrahman bin Auf, Pengusaha Sukses yang Mengguncangkan Dunia

Siapa tak mengenal Abdurrahman bin Auf? Salah satu dari 10 sahabat yang dijamin mendapatkan surga. Bahkan semua Muslim pada masa sulit seperti sekarang tentu lebih menginginkan menjadi sepertinya dan berusaha mengikuti jejaknya sebagai kontribusi dalam Islam. Beliau pernah menyumbangkan separuh hartanya ditambah 40.000 dinar, 500 kuda dan 500 unta dalam satu waktu, dan menyumbangkan 50.000 dinar fii sabilillah ketika meninggal, dan lebih banyak lagi yang beliau sumbangkan tatkala masih hidup.
Abdurrahman bin Auf adalah ikon Muslim salih dan kaya. Kombinasi yang tampaknya sulit kita temukan pada abad-abad terakhir. Tapi sulit bukan berarti mustahil. Kita hanya perlu sedikit demi sedikit mempelajari kisahnya dan berharap bisa lebih ‘salih dan kaya’ setiap harinya.
Ketika Rasulullah memerintahkan hijrah menuju Madinah, Abdurrahman bin Auf adalah salah satu shahabat yang berhijrah tanpa harta, karena beliau lebih memilih Allah serta Rasul-Nya dibanding harta melimpah yang selama ini dia usahakan di Makkah.
Begitu sampai di Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan saudagar paling kaya di kota itu, Sa’ad bin Rabi’. Saking bahagianya, Sa’ad bin Rabi’ yang telah mendengar kehebatan Abdurrahman dalam berdagang langsung memperlihatkan semua tokonya pada Abdurrahman, lalu meminta Abdurrahman memilih separuhnya. Tidak hanya itu, Abdurrahman bahkan diminta memilih salah satu dari istri sahabatnya Sa’ad bin Rabi’ yang paling disukainya. Subhanallah, inilah persahabatan dalam Islam.
Namun Abdurrahman menjawabnya “Semoga Allah memberkahi hartamu dan keluargamu, aku tidak memerlukan semua itu. Akan tetapi, tunjukkanlah aku dimana pasar supaya aku dapat berdagang disitu”
Sa’ad bin Rabi’ pun menunjukannya letak pasar. Dan dalam waktu dekat perniagaannya berkembang dan menikahi seorang Muslimah dengan mahar emas seberat biji kurma. Tidak hanya itu, dia menjadi orang yang paling kaya di Madinah setelahnya.
Dari sini ada beberapa pelajaran yang bisa kita tarik.
1.       Abdurrahman bin Auf menunjukkan kepada kita bahwa modal harta itu penting, tapi modal mental lebih penting. Mental kaya lebih penting daripada kaya. Abdurrahman memulai dari nol dan mampu mengumpulkan kekayaan lebih banyak karena dia memiliki mental kaya. Mental kaya ini misalnya selalu mau memberi bukan menerima, siap dengan kerasnya usaha, tangguh, bersungguh-sungguh dalam usaha dan meyakini keberhasilan usahanya. Ini tergambar dari perkataannya “Seandainya aku membalik sebuah batu, maka aku akan menemukan emas atau perak”
2.       Selain mental kaya, Abdurrahman juga memahami secara mendalam seluk beluk perdagangan secara teknis. Abdurrahman tidak hanya memiliki mental saja, tapi dia juga menguasai pasar. Sesampainya di Madinah, Abdurrahman dikisahkan mendatangkan minyak samin dan keju dari wilayah lain untuk dijual di Madinah. Artinya beliau paham betul masalah supplier dan jalur distribusi, networking, marketing, dan tentunya selling.
3.       Belajar dari Abdurrahman bin Auf yang lain, beliau meniatkan semua hartanya untuk diinfakkan di jalan Allah semaksimal mungkin. Pada saat perang Tabuk beliau menginfakkan 200 uqiyah emas dari hartanya ( 1 uqiyah emas = 29,75 gram emas), sehingga Umar mengkhawatirkan apakah Abdurrahman menyisakan untuk keluarganya. Saat ditanya Rasulullah perkara uang yang dia tinggalkan untuk keluarganya, beliau menjawab “Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan.” Rasul melanjutkan pertanyaannya “Berapa?” Maka Abdurrahman menjawab: “Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah.”
Siapa yang membantu agama Allah, Allah akan membantunya. Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah, akan dilipatgandakan. Begitulah Abdurrahman yang bertambah kaya karena menginfakkan hartanya fii sabilillah. Simak perkayaan Allah dalam hal ini:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (TQS Al-Baqarah [2]: 245)
4.       Yang terakhir, Abdurrahman adalah ksatria Islam yang istimewa, dan termasuk diantara sahabat yang mampu secara maksimal berjuang dengan harta dan jiwanya. Mungkin kita mengetahui beliau senang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Tapi sedikit yang mengetahui bahwa Abdurrahman juga maju ke medan perang. Dia tidak menganggap bahwa harta adalah pengganti dirinya untuk maju ke medan perang. Dia memperjuangkan surga Allah dengan harta dan jiwa. Dan Allah menggantinya lebih banyak lagi. Sederhananya, dia menjadikan hartanya sebagai wasilah (perantara) ibadah, bukannya sebagai tujuan
Walhasil, beginilah profil pengusaha Muslim yang layak dinanti. Yang siap mengorbankan seluruh harta dan jiwanya di jalan Allah. Mungkin sulit, tapi bukan berarti mustahil. Yang ada saat ini, orang yang memiliki harta merasa bisa mengganti maksiat mereka dengan infak harta. Atau sebaliknya, merasa perjuangannya cukup dengan jiwa saja tapi pelit mengeluarkan harta. Semoga Allah segera mengenalkan kita profil-profil Abdurrahman bin Auf pada zaman kita, sehingga kebangkitan Islam semakin dekat. Semoga.
Ditulis oleh @felixsiauw dalam rangka menyambut Muslim Entrepreneur Forum 2012, yang rencananya akan diselenggarakan pada 26 Januari 2012 yang akan datang di Gedung Smesco, Jakarta

Sumber: http://pengusaharindusyariah.com/abdurrahman-bin-auf-pengusaha-sukses-yang-mengguncang-dunia/

Rabu, 18 Januari 2012

[COPAST Cerpen] Ketika Akhwat Mengajukan Diri

 “Assalamu’alaikum…” sapaku dengan nafas setengah tersengal pada Ka Mia sambil cipika cipiki.
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh… Sehat Dhir?” balasnya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah Ka… Kakak udah lama di sini?” sahutku sambil menyelonjorkan kaki.
“Baru nyampe juga kok… Mbak Syifa telat katanya, kita diminta mulai dulu. Kita tunggu satu orang lagi aja ya baru kita mulai liqonya…”
“Ok deh ka…”
Kami sama-sama terdiam; aku melepas lelah sambil mengatur nafas yang sempat tersengal karena terburu-buru menuju masjid ini, sedangkan Ka Mia berkutat dengan BB di tangannya. Entahlah, aku melihat ada semburat yang berbeda dari wajah Ka Mia. Seperti tahu sedang diperhatikan olehku, Ka Mia langsung mengalihkan pandangannya dari BB di tangannya ke arahku.
“Dhira, gimana kabar CV-mu? Udah ada CV ikhwan yang masuk belum dari Mbak Syifa?” sungging senyumnya dan pertanyaannya membuat hati ini dag dig dug.
Waduuh, kenapa tiba-tiba sang kakak menanyakan hal ini? Aku sebenarnya sudah lama tak ingin membahas tentang hal ini. Ya, sepertinya memang belum bisa tahun ini dan aku sudah menggeser planning itu di 2012 nanti.
“Hmm… belum ka… Kakak sendiri gimana? Udah lagi proses yaaa?” jawabku sambil menggodanya.
Ya. Kami berdua sama-sama sedang dalam masa pencarian dan penantian sang belahan jiwa. Kadang, waktu-waktu menjelang liqo atau setelahnya-lah yang membuat kami sering berbincang tentang masalah perkembangan proses pencarian dan penantian ini. Seperti saat ini yang kami bincangkan.
Teringat dulu, ketika satu bulan aku memasuki kelompok baru ini, ada program ta-akhi (dipersaudarakan) dari Mbak Syifa. Aku dan Ka Mia adalah salah satu pasang ta-akhi dalam lingkaran ini. Program ta-akhi dalam lingkaran kami katanya bertujuan untuk saling menjaga satu sama lain, saudara yang dita-akhikan adalah yang harus paling tahu tentang kondisi saudara yang dita-akhikan dengannya. Walaupun usia Ka Mia terpaut 3 tahun di atasku, tapi kami sudah seperti sahabat dekat, saling bercerita termasuk masalah proses ini. Ya, program ta-akhi dalam suatu ‘lingkaran’ ternyata amat berdampak untuk bisa saling menjaga.
“Aku juga belum, Dhir… Hmm… karena aku menempuh jalan yang berbeda dari yang lain…” wajah Ka Mia terlihat memerah.
Aku memandanginya dengan bahasa wajah tak mengerti.
“Sebenernya, aku udah ada kecenderungan dengan seorang ikhwan…” lanjutnya sambil lekat memandangku dan sepertinya ingin tahu apa reaksiku.
“Hah?? Beneran Ka? Siapa? Aku kenal gak?” rasa penasaranku mulai mencuat ke permukaan hingga bertubi-tubi pertanyaan terlontar.
“Dhira pernah ketemu kok sama orangnya. Inget ga waktu dulu pas Ramadhan, kelompok liqo kita bantuin ngadain buka puasa bersama anak yatim dari kantorku? Nah, yang jadi MC-nya itu, Dhir…” Ka Mia memberikan clue.
Aku mencoba mengingat-ingat. Tak sampai 5 menit, aku bisa mengingatnya dengan jelas. Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak tanpa peci membawakan acara buka puasa bersama anak yatim di daerah Jakarta Selatan. Gayanya yang supel dan agak selengekan, tak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia seorang ikhwan. Tapi cukup salut dengannya karena bisa membuat anak-anak kecil tertawa dengan lelucon yang ditampilkannya. Aaaahh, ga salah niih Ka Mia ‘naksir’ ikhwan seperti dia? Ka Mia yang terkenal shalihah, kalem dan berjilbab lebar ‘naksir’ ikhwan yang agak selengekan itu.
“Hm… bukannya kakak ga kenal dia sebelumnya ya? Dia itu kan yang ‘punya’ wilayah tempat santunan anak yatim itu bukannya?  Ketemunya pas acara itu aja kan?”
“Iya, awalnya emang ga kenal. Ketemu dia juga pas koordinasi beberapa hari menjelang acara dan saat acara. Tapi setelah acara, tepatnya menjelang Idul Fitri, dia add FB-ku. Dari situ akhirnya ada komunikasi via FB. Dan ternyata kantorku juga tertarik untuk menyalurkan qurban Idul Adha di daerahnya, maka jadilah komunikasi itu terjalin kembali.”
“Hoo… gitu… Hmm… boleh tau ga ka? Apa sih yang membuat kakak naksir dia?” rasa keingintahuanku semakin memuncak, hanya ingin tahu apa yang membuat akhwat seshalihah Ka Mia ‘naksir’ seorang ikhwan.
Dari kejauhan, muncullah seorang akhwat bergamis biru dongker. Rina, seorang saudari di lingkaran ini juga. Maka seperti kesepakatan di awal, liqo ini akan dimulai jika sudah ada satu akhwat lagi yang datang.
“Kapan-kapan lagi aja ya Dhir ceritanya…” ujar Ka Mia setengah berbisik sebelum akhirnya Rina mendekati kami.
Liqo pun dimulai dengan tilawah dan kultum. Tak berapa lama kemudian, Mbak Syifa datang dan memberikan materi tentang sabar.
Tiba-tiba selagi asyik mengetik poin-poin penting dari materi yang disampaikan oleh Mbak Syifa, HP yang kupegang bergetar. Ada sms masuk. Dari Ka Mia rupanya, padahal kami duduk bersebelahan.
“Dhir, aku mau lanjutin cerita yang tadi, bada liqo, bisa ga? Tapi khawatir dirimu pulang kemaleman…”
Secepat kilat, kubalas smsnya: “Insya Allah bisa Ka. Nanti aku pulang naik bajaj, tenang aja… :)”
“Siip klo gitu, nanti kita sambil dinner aja sekalian…”
“Azzzeeekk… ditraktir… hehe… ^_^  …”
“Siip, insya Allah… ^_^  …”
Adzan berkumandang, liqo ditutup sementara untuk shalat Maghrib lebih dulu. Aku tak sabar ingin tahu kelanjutan cerita dari Ka Mia, cerita seorang akhwat yang punya kecenderungan lebih dulu terhadap ikhwan. Jarang-jarang ada yang cerita seperti ini ke aku, patut didengarkan. Ya walau kadang ketika seorang akhwat bercerita tak memerlukan saran, maka cukupkan cerita itu sebagai pelajaran.
Liqo pun dilanjutkan. Setelah diskusi tentang materi, saatnya sharing qhodhoya (masalah) dan evaluasi binaan serta amanah. Hingga akhirnya, tepat adzan Isya berkumandang, liqo pun usai. Kami bercipika cipiki ria sebelum pulang. Sementara yang lain memutuskan untuk pulang, aku memutuskan untuk shalat Isya dulu di masjid, sedangkan Ka Mia yang sedang datang bulan menungguku di teras masjid.
Usai shalat Isya, aku dan Ka Mia mulai menelusuri jalan di sekitar RSCM untuk mencari tempat makan. Akhirnya pilihan tempat makan jatuh pada sebuah rumah makan seafood. Kami memilih menu nasi goreng seafood dan juice strawberry. Sambil menunggu menu yang akan dihidangkan, mulailah cerita tadi sore dilanjutkan.
“Oiya Dhir, tadi sore ceritanya sampai mana ya?” pancing Ka Mia lebih dulu.
“Oohh… tadi itu aku nanya, apa siih yang membuat kakak punya kecenderungan sama ikhwan itu?”
“Hmm.. Ok, aku akan cerita Dhir. Selama ini aku bisa nahan cerita ini, tapi sepertinya hari ini ga bisa kutahan untuk ga cerita ke kamu. Jadi, tolong dijaga ya..”, lagi-lagi senyumnya menyejukkan jiwa.
“Siip ka, tenang aja. Palingan nanti aku minta izin buat nulis tentang ini, itupun kalo kakak ngijinin.. hehe, dengan sedikit penyamaran tentunya. Maklum, penulis, slalu mencuri-curi kesempatan untuk menuliskan pengalaman yang inspiratif..”, jawabku sekenanya.
Ternyata direspon baik oleh Ka Mia, “Boleh banget Dhir, aku percayakan ke kamu deeh..”
Menu yang ditunggu pun datang. Berhubung lapar sangat, aku meminta izin untuk mendengarkan cerita sambil makan. Dan Ka Mia pun memulai ceritanya.
“Alasan aku punya kecenderungan dengan ikhwan itu sebenernya karena ada kriteria calon suami yang pas pada dirinya. Ini terkait karakter dia, entahlah aku merasa ‘klik’ aja dengan karakternya. Orangnya supel dan dengan gayanya yang seperti itu, aku yakin dia bisa memudahkan aku untuk berdakwah di keluarga besar. Karena selama ini, aku agak sulit ‘berpengaruh’ di keluarga besar. “
Masya Allah, alasannya ternyata itu; karakter untuk memudahkan berdakwah di keluarga besar. Beda dah emang kriteria akhwat shalihah untuk calon suaminya, bervisi dakwah euy. Bukan kriteria fisik, misalnya putih dan tinggi, seperti yang biasanya sering dicurhatkan ke aku oleh beberapa akhwat yang mencantumkan putih dan tinggi sebagai kriteria calon suami mereka. Ya, karena jika dilihat dari fisiknya, ikhwan yang dicenderungi oleh Ka Mia, termasuk yang biasa saja, standar, tidak putih dan juga tidak tinggi, tapi tetap lebih tinggi sang ikhwan dibandingkan Ka Mia.
“Oohh gitu ka.. trus akhirnya apa yang kakak lakukan?”, tanyaku sambil menyeruput juice strawberry.
“Akhirnya, setelah istikharah beberapa malam, aku sampaikan tentang hal ini ke Mbak Syifa. Mbak Syifa pun berusaha mencarikan jalur tarbiyah sang ikhwan lewat teman Mbak Syifa. Nunggu kabar itu, lama banget, berminggu-minggu baru dapat kepastian bahwa ternyata temannya Mbak Syifa yang ada di daerah yang sama dengan ikhwan itu, ga bisa mendeteksi karena ga ada yang kenal dengan ikhwan itu. Waaah, sempet terpikir tuh sama aku, ini ikhwan, tarbiyahnya sehat gak ya? kok ga dikenal ya di daerahnya sendiri? Mbak Syifa pun ga bisa bantu lagi. Kembali aku istikharah, nanya sama Allah, gimana lagi ini caranya untuk menemukan jalur tarbiyahnya? Dan akhirnya petunjuk itu datang. Aku teringat pas koordinasi acara santunan anak yatim itu, aku juga koordinasi sama seorang akhwat selain sama sang ikhwan. Tentunya sang akhwat mengenal baik sang ikhwan karena berada di satu daerah.  Akhwat itu udah punya anak dua, Mba Nany namanya. Aku beranikan diri menyatakan hal itu ke Mba Nany via FB, tapi izin dulu ke Mbak Syifa. Mba Syifa mempersilakan. Alhamdulillah, Mbak Nany merespon cepat, beliau minta MR-ku untuk hubungin beliau, kemungkinan besar Mbak Nany tahu jalur tarbiyah sang ikhwan. Aku kasih tahulah respon ini ke Mbak Syifa dan minta tolong Mbak Syifa hubungin Mbak Nany. Aku kasih nomor Mbak Nany ke Mbak Syifa.”
“Sambil dimakan Ka.. “, sela-ku karena melihat nasi di piring Ka Mia masih banyak dibandingkan nasi di piringku yang tinggal beberapa suap lagi.
Ka Mia pun menyuapkan nasi goreng seafood ke mulutnya.
“Waah,, ribet juga ya Kak, prosesnya. Salut aku, kakak sampai sebegitu beraninya.”
“Ya namanya juga ikhtiar, Dhir.. Aku juga ga nyangka bakal seberani ini. Tapi ya itu tadi, sebelum bertindak apa-apa, aku istikharah dulu, curhat ke Allah. Dan Allah memantapkan hati ini untuk bertindak pada akhirnya, makanya aku berani. Pas mau cerita ke Mbak Syifa n Mbak Nany aja, ada rasa ga berani.. Tiap mau kirim message, pasti didelete lagi, diurungkan niatnya. Baru ada keberaniaan mengirim message setelah shalat istikharah..”
Masya Allah, baru kali ini aku mendengar cerita akhwat yang mencari jalur tarbiyah ikhwan. Biasanya, ikhwan yang berusaha mencari jalur tarbiyah akhwat. Benar-benar jalan yang ditempuh berbeda dari yang lain. Tak sabar diri ini menunggu cerita selanjutnya dari Ka Mia.
“Trus akhirnya udah ada progress dari Mbak Nany n Mbak Syifa?”
Ka Mia menyeruput juice strawberry-nya baru kemudian melanjutkan cerita, dengan sedikit menghela nafas.
“Huuffhh. Ya, aku udah dapet kabar dari Mbak Syifa, baru aja kemarin Mbak Syifa meminta aku ke rumahnya. Jadi ternyata, Mbak Nany itu harus nanya dulu ke Murabbiyahnya untuk mencari tahu siapa Murabbi sang ikhwan. Makanya agak lama juga progressnya, hampir satu bulan. Mbak Syifa ga tau bagaimana MR Mbak Nany mengkomunikasikan hal ini ke MR sang ikhwan, yang jelas Mbak Syifa mohon tidak menyebutkan namaku, untuk menjaga izzah. Trus barulah dapet kabar kalo MR ikhwan itu agak keberatan dengan akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, dan ada kemungkinan MR ikhwan itu sudah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Mungkin sang MR menginginkan binaannya ta’aruf dimana masing-masing belum saling kenal, berbekal dari CV pilihan sang MR, masih seperti jaman awal dakwah dulu. Kalo kata Mbak Syifa, kebanyakan MR ikhwan itu biasanya memang masih belum menerima jika ada akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, beda dengan MR akhwat yang lebih terbuka dan ga mempermasalahkan kalo ada akhwat yang mengajukan diri. Jadi memang agak sulit kalo Mbak Syifa harus ngomong langsung ke MR sang ikhwan. Soalnya kan udah tau pandangan MR ikhwan itu terkait akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, seperti apa. Lagipula sempat disinggung kemungkinan sudah ada proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan dari MRnya. Kalo Mbak Syifa langsung menghubungi MR sang ikhwan, itu pasti mau ga mau akan membuka namaku. Mbak Syifa juga masih bingung makanya mau gimana kelanjutannya dan keputusan itu diserahkan ke aku; mau dihentikan atau mau tetap lanjut tapi gimana caranya? Ya, gitu deh ceritanya.. Gimana tanggapanmu, Dhir?”, Ka Mia mengakhiri cerita itu dengan senyum simpulnya.
Aah.. Ka Mia masih bisa tersenyum dengan kabar seperti itu. Jika aku berada di posisinya mungkin sudah menyerah dengan perjuangan untuk menuju ta’aruf yang super duper ribet seperti itu. Belum aja ta’aruf, sudah ribet sedemikian rupa, apalagi jika sudah ta’aruf dan menuju jenjang pernikahan. Mungkin ini yang disebut perjuangan untuk sebuah rasa yang harus dipertanggungjawabkan.
“Hoalah.. Kok ribet banget ya ka? MR ikhwan udah jelas-jelas keberatan kalo akhwat mengajukan diri lebih dulu dan sepertinya udah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Uppss.. maaf Ka.. “, aku menahan kata-kata lainnya untuk dikeluarkan, khawatir menyinggung perasaan Ka Mia.
“Kok minta maaf? Ga papa Dhir.. Ya begitulah ikhwan, kadang sulit dimengerti. Aku juga belum tau apakah sang ikhwan memiliki kecenderungan yang sama atau ga sepertiku. Masalahnya, baru kali ini aku menemukan seseorang yang aku rasa ‘klik’ denganku, maka aku mau coba berusaha mengikhtiarkan jalan ini. Di usia yang sudah seharusnya menikah, apalagi yang ditunggu jika ada seseorang yang dirasa sudah cocok dengan kita. Jalan satu-satunya adalah mengikhtiarkan walaupun aku belum tau sebenarnya apakah ikhwan itu punya kecenderungan yang sama. Jika sudah diikhtiarkan jadi ga penasaran, apapun itu hasilnya. Toh kalo jodoh ga ke mana kan?”
Aah.. Kata-katanya ini sungguh menancap dalam ke relung hatiku. Usia Ka Mia yang saat ini sudah menginjak 26 tahun memang sudah selayaknya menikah. Aku saja yang 3 tahun di bawahnya juga sedang dalam pencarian dan penantian, apalagi Ka Mia yang sudah bertahun-tahun mencari dan menanti. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya selama itu menanti.
“Iya, ka.. insya Allah jodoh ga pernah ketuker. Kalo memang Ka Mia berjodoh di dunia ini dengan ikhwan itu, insya Allah jalan menuju ke sana pasti terbuka. Hm.. kalo menurutku ga masalah sebenernya akhwat mengajukan diri lebih dulu, itupun ada contohnya dari bunda Khadijah. Ya tapi memang ga lazim aja di jaman sekarang ini, masih dianggap tabu bagi sebagian besar orang. Oya, aku mau tanya sama kakak donk, apa kakak udah tahu betul bagaimana akhlaq sang ikhwan hingga akhirnya kakak berniat mengajukan diri lebih dulu? “, naluri konsultan mulai muncul dalam diri.
“Insya Allah udah, Dhir. Ketika aku mengutarakan hal ini ke Mbak Nany, yang juga kenal baik dengan ikhwan itu, aku juga minta dijelaskan bagaimana karakter dan sifat sang ikhwan selama bekerjasama dengan Mbak Nany. Mbak Nany bilang, sang ikhwan punya daya juang yang tinggi, walau terlihat selengekan termasuk yang mudah dinasihati. Untuk kesiapan menikah dalam waktu dekat, Mbak Nany melihat sudah ada kesiapan dari sang ikhwan. Tapi mungkin ada sedikit masalah pada financial karena sang ikhwan masih harus membiayai adiknya yang masih SMA dan yang masih skripsi. Dari penjelasan Mbak Nany, makin memantapkan diriku, Dhir.”, jelas Ka Mia.
“Hoo.. bagus deh kalo gitu Ka. Karna kan ketika bunda Khadijah ingin mengajukan diri, beliau mencari tahu dulu akhlaq Muhammad melalui perantara Maisarah, orang kepercayaannya, dengan melakukan perjalanan dagang bersama. Trus setelah tahu dan mantap, baru deh meminta Nafisah, wanita setengah baya, untuk ngomong dari hati ke hati sama Muhammad. Ga langsung nembak bahwa Khadijah suka dan menginginkan Muhammad sebagai suaminya. Tapi menanyakan hal-hal umum terkait kesiapan Muhammad tentang pernikahan dan apakah sudah ada calon atau belum. Ketika Muhammad bilang belum ada calon, maka Nafisah mengajukan wanita dengan kriteria tertentu, rupawan, hartawan dan bangsawan, tidak menyebutkan bahwa Khadijah-lah orangnya. Namun dari kriteria yang disebutkan itu, Muhammad pun paham siapa yang dimaksud. Ya, berarti kakak udah menempuh jalan sampai tahap Maisarah, tinggal mencari Nafisahnya Ka.”
“Hmm.. iya betul, Dhir.. Aku juga sempat terpikir hal itu, tapi siapa ya yang bisa menyampaikannya?”
“Sebenernya menurutku, Mbak Nany juga bisa langsung berperan sebagai Nafisah. Tadi kan kakak bilang agak sulit dengan MR ikhwannya. Kan bisa aja Mbak Nany yang mancing lebih dulu, untuk ta’aruf selanjutnya bisa diserahkan via MR, jika tentunya sang ikhwan juga punya kecenderungan yang sama. Setidaknya Mbak Nany bisa mengorek informasi apakah sang ikhwan sudah punya calon yang akan dinikahi atau belum, atau sudah ada kecenderungan dengan akhwat lain atau belum. Kalo belum, bisa aja dengan sedikit candaan, Mbak Nany menawarkan ke sang ikhwan, sambil ngomong kayak gini: saya ada akhwat niih yang udah siap nikah dan sedang mencari pendamping, bersedia ga? Kriterianya blablabla, nyebutin kriterianya Ka Mia. Kalo sang ikhwan bersedia dengan kriteria yang disebutin, Mbak Nany bisa langsung kasih tahu kalo akhwat yang udah siap nikah itu adalah Ka Mia. Mbak Nany, Ka Mia dan sang ikhwan kan udah saling kenal, jadi lebih gampang seharusnya. Nah, nanti kan jadi makin tahu gimana respon sang ikhwan jika ternyata akhwat yang ditawarkan itu Ka Mia. Kalo ikhwan bilang lanjut, maka dia bisa langsung bilang ke MRnya kalo dia sudah siap nikah dan sudah punya nama. Kalo udah binaan sendiri yang bilang ke MR mah, biasanya udah gampang Ka, apalagi udah ngajuin nama. Kalo kayak gini prosesnya kan jadi ga keliatan kalo Ka Mia yang mengajukan diri lebih dulu, tapi harus bermain ‘cantik’ dalam proses, jangan sampai sang ikhwan tahu kalo Ka Mia mengajukan diri. Hehe..”, panjang lebar aku menjelaskan bagaimana sebaiknya penerapan proses Ka Mia dan sang ikhwan seperti proses Khadijah dan Muhammad.
“Hwaaa.. Dhiraaaa, kamu udah kayak konsultan jodoh aja deh. Jadi tercerahkan niih aku jadinya. “, Ka Mia menepuk pipiku yang gembul.
“Semoga bisa sedikit ngasih solusi untuk proses kakak yang rumit itu, masa’ hanya gara-gara MR ikhwan, langsung mundur? Ada banyak jalan menuju Roma.. hehe..”
“Siip,, insya Allah.. Naah, kamu sendiri gimana niih Dhir? Udah nemu yang cocok denganmu belum?”, tembak Ka Mia kepadaku.
“Hehe.. aku mah sabar aja Ka dalam penantian ini, nunggu pangeran berkuda putih dateng ngelamar aja, hehe..”, jawabku sedikit asal.
“Sabar dalam penantian itu bagi seorang akhwat ga berarti pasif, tinggal nunggu. Akhwat juga harus aktif dalam penantian. Jumlah akhwat itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikhwan. Terlepas dari jodoh adalah takdir, tetep harus ikhtiar yang terbaik untuk mencari calon imam bagimu dan anak-anakmu kelak. Memang benar jodoh itu di tangan Allah, tapi kita juga harus aktif berikhtiar mengambil dariNYA. Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa, katanya target tahun ini kan? Tentunya dengan tetap menjaga izzah sebagai seorang akhwat dan jangan pernah tinggalkan istikharah dalam mengambil tindakan apapun..”, ujar Ka Mia memberi masukan untukku.
“Hahahaha.. ga jadi tahun ini Ka.. Ga keburu.. Jadi,, tahun depan aja targetnya insya Allah.. hehe..”
“Jiiaahh.. kamu ini udah siap belum siih? Apa cuma sekadar ingin menikah? Lagi labil gitu maksudnya..”, ledek Ka Mia.
“Siap gak siap mah harus nyiapin diri Ka.. Tapi apa mau dikata kalo pangeran berkuda putihnya belum muncul-muncul juga?”, aku menimpali ledekan Ka Mia.
“Yaudah, kita saling mendoakan ya yang terbaik, dan ikhtiar yang terbaik juga.. Jazakillah ya Dhir, udah mau denger ceritaku dan ngasih solusinya.. Aku cerita ini cuma ke 3 orang, Mbak Syifa, Mbak Nany dan kamu. Bahkan aku cerita detail seperti ini cuma ke kamu looh.. Hehe..”
“Sama-sama Ka, ceritanya menginspirasi banget. Jarang loh ada akhwat yang berani mengajukan diri. Dan aku rasa, hanya akhwat tangguh yang bisa seperti itu. Tangguh akan perasaan dan hatinya. Alhamdulillah kalo ada respon positif dari sang ikhwan, kalo responnya negatif? Hanya akhwat tangguh yang bisa menerima kemungkinan kedua; ditolak.. Aku salut deh sama kakak. Semoga lancar urusannya y Ka.. Doain aku juga, semoga pangeran berkuda putihku segera datang menjemputku.. hehe..”
“Aamiin.. insya Allah saling mendoakan yang terbaik..”
Kami pun menyudahi dinner. Ka Mia menungguku hingga naik bajaj. Aah, sungguh malam yang berkesan dalam kebersamaan dengan saudari seperti Ka Mia.
****
Sesampai di rumah, kurebahkan diri ini di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Pandangan kualihkan ke sebelah kanan tempat tidur. Ada sebuah diary biru yang tergembok. Aku buka dompetku dan kukeluarkan sebuah kunci di sela-sela saku dalamnya. Gembok ‘blue diary’ itu pun kubuka. Kuraih ballpoint tepat di samping kananku. Baru saja tangan ini tergerak untuk menulis, terdengar sebuah dering dari HP-ku. Kuraih HP dan terteralah sebuah pesan dari YM-ku.
“Asslm.Dhir,gmana nih kabarnya? lagi deactive FB ya?”
Aah.. Rasa yang tak biasa itu muncul lagi, tepat di hari ke-7 aku mendeaktif akun FBku. Kenapa nama seorang ikhwan itu yang tertera di YM-ku menyadari bahwa aku sedang mendeaktif FB-ku? Kata-kata Ka Mia pun terngiang:
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
Segera kutepis kata-kata itu dan mencoba menepis rasa yang terlanjur ada. Tak terasa, bulir-bulir hangat itu membasahi pipi. Kugerakkan tangan ini untuk menulis dalam ‘blue diary’.
Jika anugrah itu membahagiakan
Maka cinta yang [katanya] merupakan anugrah dariNYA
Seharusnya juga membahagiakan
Namun adakalanya
Ada yang merasa tak bahagia dengan cinta
Atau janganlah terlalu dini menyebutnya cinta
Mari kita sebut saja sebuah rasa
Rasa yang berbeda
Yang [lagi-lagi katanya] menggetarkan jiwa
Aha
Mungkin memang belum saatnya
Rasa itu ada
Hingga diri merasa nista dengan rasa
Atau jangan-jangan rasa yang ada
Didominasi oleh nafsu sebagai manusia
Jika itu permasalahannya
Maka titipkanlah rasa pada SANG PENGUASA
Biarkan ia yang belum saatnya, bersamaNYA
Biarkan waktu yang kan menjawabnya
Hingga Dia mengembalikan rasa itu jika saatnya tiba
Wanita.. Wanita..
Slalu saja
Bermain dengan rasa
Maka mendekatlah padaNYA
Agar rasa yang belum saatnya
Tetap terjaga
Agar rasa yang ada
Tak membuat hati kecewa
Agar rasa yang dirasa
Tak membuat jauh dariNYA
Biarkanlah diri merasa nista dengan rasa
Jika ternyata nafsu tlah menunggangi ia yang belum saatnya
Hingga akhirnya membuat diri menangis pilu karenanya
Menangis karena menyadari bahwa dirinya masih rapuh ternyata
Masih perlu belajar bagaimana mengelola rasa yang belum saatnya
Ya Rabbana
Hamba titipkan rasa yang belum saatnya
Agar ia tetap suci terjaga
Hingga waktunya tiba

Aah.. Aku bukanlah akhwat tangguh yang bisa memperjuangkan rasa yang terlanjur ada. Aku hanya akhwat biasa yang tak sanggup akan rasa yang belum saatnya, karena aku bukanlah Khadijah yang mulia.

based on true story

Sabtu, 07 Januari 2012

My journey in pharmacy part 6

"Pharmacy, Say it with the structure!!!"
     
      Teringat kata salah satu dosen farmasi yang sedang mengerjakan disertasinya di Universitas Indonesia. Benar-benar menyadarkan diri kita sebagai seorang mahasiswa farmasi pada hakikatnya. Dimana seorang Mahasiswa Farmasi yang ideal dapat memahami gugus apa saja yang menyebabkan suatu zat dapat menjadi toksik untuk tubuh. Karena semua hal terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil yang memiliki strukturnya masing-masing. Baru-baru ini peneliti menyadari bahwa atom bukanlah zat yang paling kecil, menurut mereka gama lah yang lebih kecil. Itulah ilmu Sains selalu berkembang dan tidak ada yang absolut atau mutlak.

      Semua reaksi, oksidasi, reduksi, subtitusi, hidrolisis dan masih banyak reaksi lainnya harus kami pahami. Semua itu kami dapati di pelajaran kimia organik. Bahkan bisa dikatakan, pelajaran kimia organik adalah jantung dari ilmu farmasi. Karena semua reaksi, simplisia, dan bahan di dunia ini memiliki kandungan-kandungan zat yang memiliki strukturnya sendiri dan dapat bermanfaat untuk tubuh. Karena kerja farmasi adalah memformulasi suatu sediaan yang dapat membantu atau mengobati kehidupan manusia, maka kita harus dapat memahami struktur-struktur dari setiap partikel di dunia ini.

      Kadang sering kita dengarkan asumsi masyarakat tentang zat kimia. kebanyakan beranggapan  bahan-bahan kimia "negatif". padahal mereka tidak menyadari bahwa kita diciptakan oleh Allah dari zat-zat kimia yang bersatu padu menjadi satu tubuh yang padat. Karena itulah tubuh kita bisa berinteraksi dengan obat dan makanan membentuk metabolisme yang sempurna hingga dapat terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. petumbuhan pada fisiknya dan perkembangan pada cara berfikirnya. Jangan lupa juga, makanan yang selama ini kita konsumsi adalah salah satu contoh bahan kimia yang penting bagi tubuh. jadi harus kita ubah cara pandang selama ini. Zat kimia tidak selalu berbahaya!!

     Kembali ke cerita farmasi.. Struktur-struktur kimia ada banyak, bahkan sangat sulit jika harus dipahami satu-satu. Dan memulai sesi curhatannya, pelajaran kimia organik kurang diminati di Farmasi UIN. Kadang ini menjadi suatu fenomena keterbelakangan mahasiswa UIN. Tapi semua itu pastilah ada sebabnya. Mungkin karena dosennya yang masih terbatas, atau karena cara pencapaian dosen yang kurang menarik, atau bahkan semua kesalahan ada pada kita yang tidak pernah dalam keadaan siap menerima ilmu saat pelajaran tersebut. sebenarnya semuanya megang kendali dalam kesalahan ini.
    
      Tapi semua itu bisa teratasi dengan langsung mengaplikasikan pelajaran kimia organik disetiap mata kuliah farmasi. di farmakognosi, Imunologi, TSSP, dan bahkan di praktikum kimia organik kami mendapatkan banyak hal. Dari cara pembuatan parasetamol dengan mereaksikan p-aminofenol dengan asam asetat anhidrat, pengambilan kitosan dari zat kitin yang dapat kita temui pada cangkang udang, mengisolasi eugenol dari minyak cengkeh, pembuatan asam salisilat yang banyak bermanfaat buat kulit dari metil salisilat turunannya, dan masih banyak lagi.

      Hal-hal yang baru ini yang selalu membuat aku mendapat semangat baru di farmasi UIN. Walau persaingan di dalamnya memang sengit, tapi ilmu yang kita dapatkan jauh lebih banyak lagi. Stress?? mungkin kadang terasa begitu, tapi selama kita masih punya ALLAH.. semua tidak jadi masalah. So, tetap berusaha dan berjuang di farmasi adalah jawabannya.

      Lagi musim UAS, dan kebetulan senin besok UAS Praktikum Kimia Organik, sebenarnya masih banyak yang mau saya jabarkan di part 6 ini, tentang antibiotik dan imunoasainya, tapi to be continue aja yah..
terhitung jam 11:31.. Semangath!!!

Minggu, 01 Januari 2012

Amanah Terbesar

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (72) لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (73)

Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (72) sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat oragn-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (73) (Al-Ahzab / 33 : 72-73)

Sesungguhnya langit, bumi, dan gunung—yang dipilih al-Qur’an untuk dibicarakannya—adalah makhluk yang sangat besar, dimana manusia hidup di dalamnya atau di bawahnya sehingga ia tampak kecil dan lemah. Makhluk-makhluk tersebut mengenal Penciptanya tanpa upaya, dan serta merta memperoleh petunjuk tentang undang-undang yang mengaturnya sesuai penciptaan, pembentukan, dan sistemnya. Mereka menaati undang-undang Sang Pencipta secara langsung, tanpa melalui perenungan dan tanpa media. Mereka bergerak sejalan dengan undang-undang tersebut secara konstan, tanpa melenceng dan tanpa membangkang dalam menjalan perannya. Mereka menjalankan tugasnya menurut hukum penciptaan dan karakternya tanpa melibatkan emosi dan pilihan bebas.

Matahari berputar pada porosnya dengan perputaran yang sistematis, tanpa pernah melenceng dari sistem. Ia memancarkan cahayanya, untuk menjalankan tugas yang telah dimandatkan Allah padanya. Ia menarik satelit-satelitnya bukan didasari keinginan dalam dirinya, melainkan untuk menjalankan tugas kosmiknya secara sempurna.

Bumi ini berputar pada rotasinya, mengeluarkan tanamannya, menghasilkan makanan untuk para penghuninya, dan memancarkan mata airnya. Semua itu selaras dengan sunnatullah tanpa ada kehendak darinya.

Bulan, bintang, dan planet, angin dan awan, udara dan angin, gunung dan lembah, seluruhnya menjalankan perannya dengan seijin Tuhannya, mengenal Penciptanya, dan tunduk kepada kehendak-Nya tanpa didasari kehendak bebas. Tanpa mengerahkan tenaga, tanpa susah payah, dan tanpa usaha. Mereka takut menerima amanah tugas, amanah kehendak, amanah pengetahuan personal, amanah usaha khusus.

“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia..”

Manusia mengenal Allah dengan nalar dan perasaannya, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya melalui perenungan dan pengamatan, berbuat mengikuti undang-undang dengan usaha dan jerih payahnya, menaati Allah dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, menahan tendensi penyimpangan, melawan egonya dan syahwatnya dengan upayanya. Di setiap tindakan ini ini, manusia didasari keinginan, sadar, dan 
memilih jalannya dalam keadaan tahu kemana ujung jalan ini!

Itulah amanah terbesar yang dipikul makhluk yang kecil ukurannya, lemah, lemah usahanya, terbatas usianya, sekaligus digumuli nafsu, tendensi, dan ambisi.

Sungguh sebuah tindakan “adventure” jika ia memikul tugas yang berat ini di pundaknya. Dari sini, “manusia itu amat zhalim” terhadap dirinya, “dan amat bodoh” terhadap kekuatannya. Kezhaliman ini terkait dengan besarnya beban yang dipikulnya. Tetapi, ketika ia bangkit memikul tugas tersebut, ketika ia sampai kepada ma’rifat yang mengantarkan kepada Penciptanya, menemukan petunjuk langsung kepada undang-undangnya dan ketaatan yang sempurna terhadap kehendak Rabb-nya, sebuah ma’rifat, petunjuk, dan ketaatan yang mengantarnya kepada tingkatan yang telah dicapai langit, bumi, dan gunung dengan mudah, padahal langit, bumi, dan gunung-gunung itu adalah makhluk yang mengenal Allah secara in design, menemukan petunjuk secara in design, taat secara in design, tidak ada faktor yang menghalanginya untuk patuh kepada 

Penciptanya, undang-undang-Nya, dan kehendak-Nya, serta tidak ada faktor yang menahannya melaksanakan perintah-Nya. Ketika manusia sampai kepada tingkatan ini dalam keadaan sadar, memahami, dan tanpa paksaan, maka ia benar-benar telah mencapai maqam yang mulia dan tempat yang unik di antara ciptaan Allah.

Itulah keutamaan kehendak, nalar, usaha, dan pemikulan beban. Itulah keistimewaan manusia dibanding banyak makhluk Allah. Itulah tolok ukur penghormatan yang dideklarasikan Allah di al-Mala’ul-A’la, saat Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam. Allah mendeklarasikannya di dalam al-Qur’an yang abadi saat Allah berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan bani Adam…” (al-Isra’ [17]: 70)

Maka, hendaknya manusia tahu acuan kemuliaannya di sisi Allah, dan hendaknya ia memikul amanah yang dipilihnya. Amanat yang pernah disodorkan kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka menolak untuk membawanya dan khawatir tidak bisa menjalankan amanat tersebut!
 

Tujuannya dari semua itu adalah:
“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)

Jadi, perbedaan manusia dari makhluk lain adalah dalam memikul amanah, memikul tugas mengenal Rabbnya sendiri, menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri, semua itu agar ia memikul akibat dari pilihannya itu, agar balasan untuknya sesuai dengan amalnya, dan agar adzab itu pantas ditimpakan orang-orang munafiq dan musyrik, baik laki-laki atau perempuan. Dan agar Allah mengulurkan pertolongan kepada orang-orang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, dengan menerima taubat mereka atas kekurangan dan kelemahan akibat tekanan-tekanan internal, rintangan yang menghalangi perjalan, serta berbagai daya tarik dan beban yang meletihkan mereka. Itulah karunia dan pertolongan Allah. Dan Allah itu Mahadekat ampunan dan rahmatnya bagi hamba-hamba-Nya: “Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (73)

Dengan irama yang kuat dan mendalam inilah ditutup surat yang diawali dengan instruksi kepada Rasulullah saw. Yaitu instruksi untuk taat kepada Allah, tidak mematuhi orang-orang kafir dan munafiq, mengikuti wahyu Allah, dan tawakkal kepada-Nya semata, bukan kepada yang lain. Surat ini juga mengandung berbagai instruksi dan penetapan syari’at yang menjadi fondasi sistem masyarakat Islam, yaitu ikhlas untuk Allah, berorientasi kepada-Nya, dan menaati instruksi-instruksi-Nya.

Dengan irama yang menggambarkan urgensi tugas dan besarnya amanah, mendefinisikan letak urgensi dan besarnya amanah, dan yang membatasi seluruhnya dalam upaya manusia untuk mengenal Allah, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya, dan tunduk kepada kehendaknya ini. Dengan irama inilah surat ini ditutup, bagian awalnya dan bagian akhirnya serasi dengan tema dan orienasinya, dalam sebuah harmoni yang sarat mukjizat, yang secara intrinsik menunjukkan sumber Kitab ini! 

source: http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-zhilal/amanah-terbesar.htm