“Assalamu’alaikum…” sapaku dengan nafas setengah tersengal pada Ka Mia sambil cipika cipiki.
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh… Sehat Dhir?” balasnya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah Ka… Kakak udah lama di sini?” sahutku sambil menyelonjorkan kaki.
“Baru
nyampe juga kok… Mbak Syifa telat katanya, kita diminta mulai dulu.
Kita tunggu satu orang lagi aja ya baru kita mulai liqonya…”
“Ok deh ka…”
Kami
sama-sama terdiam; aku melepas lelah sambil mengatur nafas yang sempat
tersengal karena terburu-buru menuju masjid ini, sedangkan Ka Mia
berkutat dengan BB di tangannya. Entahlah, aku melihat ada semburat yang
berbeda dari wajah Ka Mia. Seperti tahu sedang diperhatikan olehku, Ka
Mia langsung mengalihkan pandangannya dari BB di tangannya ke arahku.
“Dhira,
gimana kabar CV-mu? Udah ada CV ikhwan yang masuk belum dari Mbak
Syifa?” sungging senyumnya dan pertanyaannya membuat hati ini dag dig
dug.
Waduuh, kenapa tiba-tiba sang kakak menanyakan hal ini? Aku
sebenarnya sudah lama tak ingin membahas tentang hal ini. Ya, sepertinya
memang belum bisa tahun ini dan aku sudah menggeser planning itu di
2012 nanti.
“Hmm… belum ka… Kakak sendiri gimana? Udah lagi proses yaaa?” jawabku sambil menggodanya.
Ya.
Kami berdua sama-sama sedang dalam masa pencarian dan penantian sang
belahan jiwa. Kadang, waktu-waktu menjelang liqo atau setelahnya-lah
yang membuat kami sering berbincang tentang masalah perkembangan proses
pencarian dan penantian ini. Seperti saat ini yang kami bincangkan.
Teringat
dulu, ketika satu bulan aku memasuki kelompok baru ini, ada program
ta-akhi (dipersaudarakan) dari Mbak Syifa. Aku dan Ka Mia adalah salah
satu pasang ta-akhi dalam lingkaran ini. Program ta-akhi dalam lingkaran
kami katanya bertujuan untuk saling menjaga satu sama lain, saudara
yang dita-akhikan adalah yang harus paling tahu tentang kondisi saudara
yang dita-akhikan dengannya. Walaupun usia Ka Mia terpaut 3 tahun di
atasku, tapi kami sudah seperti sahabat dekat, saling bercerita termasuk
masalah proses ini. Ya, program ta-akhi dalam suatu ‘lingkaran’
ternyata amat berdampak untuk bisa saling menjaga.
“Aku juga belum, Dhir… Hmm… karena aku menempuh jalan yang berbeda dari yang lain…” wajah Ka Mia terlihat memerah.
Aku memandanginya dengan bahasa wajah tak mengerti.
“Sebenernya,
aku udah ada kecenderungan dengan seorang ikhwan…” lanjutnya sambil
lekat memandangku dan sepertinya ingin tahu apa reaksiku.
“Hah?? Beneran Ka? Siapa? Aku kenal gak?” rasa penasaranku mulai mencuat ke permukaan hingga bertubi-tubi pertanyaan terlontar.
“Dhira
pernah ketemu kok sama orangnya. Inget ga waktu dulu pas Ramadhan,
kelompok liqo kita bantuin ngadain buka puasa bersama anak yatim dari
kantorku? Nah, yang jadi MC-nya itu, Dhir…” Ka Mia memberikan clue.
Aku
mencoba mengingat-ingat. Tak sampai 5 menit, aku bisa mengingatnya
dengan jelas. Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak tanpa peci
membawakan acara buka puasa bersama anak yatim di daerah Jakarta
Selatan. Gayanya yang supel dan agak selengekan, tak memperlihatkan
tanda-tanda bahwa dia seorang ikhwan. Tapi cukup salut dengannya karena
bisa membuat anak-anak kecil tertawa dengan lelucon yang ditampilkannya.
Aaaahh, ga salah niih Ka Mia ‘naksir’ ikhwan seperti dia? Ka Mia yang
terkenal shalihah, kalem dan berjilbab lebar ‘naksir’ ikhwan yang agak
selengekan itu.
“Hm… bukannya kakak ga kenal dia sebelumnya ya?
Dia itu kan yang ‘punya’ wilayah tempat santunan anak yatim itu
bukannya? Ketemunya pas acara itu aja kan?”
“Iya, awalnya emang
ga kenal. Ketemu dia juga pas koordinasi beberapa hari menjelang acara
dan saat acara. Tapi setelah acara, tepatnya menjelang Idul Fitri, dia
add FB-ku. Dari situ akhirnya ada komunikasi via FB. Dan ternyata
kantorku juga tertarik untuk menyalurkan qurban Idul Adha di daerahnya,
maka jadilah komunikasi itu terjalin kembali.”
“Hoo… gitu… Hmm…
boleh tau ga ka? Apa sih yang membuat kakak naksir dia?” rasa
keingintahuanku semakin memuncak, hanya ingin tahu apa yang membuat
akhwat seshalihah Ka Mia ‘naksir’ seorang ikhwan.
Dari kejauhan,
muncullah seorang akhwat bergamis biru dongker. Rina, seorang saudari di
lingkaran ini juga. Maka seperti kesepakatan di awal, liqo ini akan
dimulai jika sudah ada satu akhwat lagi yang datang.
“Kapan-kapan lagi aja ya Dhir ceritanya…” ujar Ka Mia setengah berbisik sebelum akhirnya Rina mendekati kami.
Liqo pun dimulai dengan tilawah dan kultum. Tak berapa lama kemudian, Mbak Syifa datang dan memberikan materi tentang sabar.
Tiba-tiba
selagi asyik mengetik poin-poin penting dari materi yang disampaikan
oleh Mbak Syifa, HP yang kupegang bergetar. Ada sms masuk. Dari Ka Mia
rupanya, padahal kami duduk bersebelahan.
“Dhir, aku mau lanjutin cerita yang tadi, bada liqo, bisa ga? Tapi khawatir dirimu pulang kemaleman…”
Secepat kilat, kubalas smsnya: “Insya Allah bisa Ka. Nanti aku pulang naik bajaj, tenang aja… :)”
“Siip klo gitu, nanti kita sambil dinner aja sekalian…”
“Azzzeeekk… ditraktir… hehe… ^_^ …”
“Siip, insya Allah… ^_^ …”
Adzan
berkumandang, liqo ditutup sementara untuk shalat Maghrib lebih dulu.
Aku tak sabar ingin tahu kelanjutan cerita dari Ka Mia, cerita seorang
akhwat yang punya kecenderungan lebih dulu terhadap ikhwan.
Jarang-jarang ada yang cerita seperti ini ke aku, patut didengarkan. Ya
walau kadang ketika seorang akhwat bercerita tak memerlukan saran, maka
cukupkan cerita itu sebagai pelajaran.
Liqo pun dilanjutkan.
Setelah diskusi tentang materi, saatnya sharing qhodhoya (masalah) dan
evaluasi binaan serta amanah. Hingga akhirnya, tepat adzan Isya
berkumandang, liqo pun usai. Kami bercipika cipiki ria sebelum pulang.
Sementara yang lain memutuskan untuk pulang, aku memutuskan untuk shalat
Isya dulu di masjid, sedangkan Ka Mia yang sedang datang bulan
menungguku di teras masjid.
Usai shalat Isya, aku dan Ka Mia mulai
menelusuri jalan di sekitar RSCM untuk mencari tempat makan. Akhirnya
pilihan tempat makan jatuh pada sebuah rumah makan seafood. Kami memilih
menu nasi goreng seafood dan juice strawberry. Sambil menunggu menu
yang akan dihidangkan, mulailah cerita tadi sore dilanjutkan.
“Oiya Dhir, tadi sore ceritanya sampai mana ya?” pancing Ka Mia lebih dulu.
“Oohh… tadi itu aku nanya, apa siih yang membuat kakak punya kecenderungan sama ikhwan itu?”
“Hmm..
Ok, aku akan cerita Dhir. Selama ini aku bisa nahan cerita ini, tapi
sepertinya hari ini ga bisa kutahan untuk ga cerita ke kamu. Jadi,
tolong dijaga ya..”, lagi-lagi senyumnya menyejukkan jiwa.
“Siip
ka, tenang aja. Palingan nanti aku minta izin buat nulis tentang ini,
itupun kalo kakak ngijinin.. hehe, dengan sedikit penyamaran tentunya.
Maklum, penulis, slalu mencuri-curi kesempatan untuk menuliskan
pengalaman yang inspiratif..”, jawabku sekenanya.
Ternyata direspon baik oleh Ka Mia, “Boleh banget Dhir, aku percayakan ke kamu deeh..”
Menu
yang ditunggu pun datang. Berhubung lapar sangat, aku meminta izin
untuk mendengarkan cerita sambil makan. Dan Ka Mia pun memulai
ceritanya.
“Alasan aku punya kecenderungan dengan ikhwan itu
sebenernya karena ada kriteria calon suami yang pas pada dirinya. Ini
terkait karakter dia, entahlah aku merasa ‘klik’ aja dengan karakternya.
Orangnya supel dan dengan gayanya yang seperti itu, aku yakin dia bisa
memudahkan aku untuk berdakwah di keluarga besar. Karena selama ini, aku
agak sulit ‘berpengaruh’ di keluarga besar. “
Masya Allah,
alasannya ternyata itu; karakter untuk memudahkan berdakwah di keluarga
besar. Beda dah emang kriteria akhwat shalihah untuk calon suaminya,
bervisi dakwah euy. Bukan kriteria fisik, misalnya putih dan tinggi,
seperti yang biasanya sering dicurhatkan ke aku oleh beberapa akhwat
yang mencantumkan putih dan tinggi sebagai kriteria calon suami mereka.
Ya, karena jika dilihat dari fisiknya, ikhwan yang dicenderungi oleh Ka
Mia, termasuk yang biasa saja, standar, tidak putih dan juga tidak
tinggi, tapi tetap lebih tinggi sang ikhwan dibandingkan Ka Mia.
“Oohh gitu ka.. trus akhirnya apa yang kakak lakukan?”, tanyaku sambil menyeruput juice strawberry.
“Akhirnya,
setelah istikharah beberapa malam, aku sampaikan tentang hal ini ke
Mbak Syifa. Mbak Syifa pun berusaha mencarikan jalur tarbiyah sang
ikhwan lewat teman Mbak Syifa. Nunggu kabar itu, lama banget,
berminggu-minggu baru dapat kepastian bahwa ternyata temannya Mbak Syifa
yang ada di daerah yang sama dengan ikhwan itu, ga bisa mendeteksi
karena ga ada yang kenal dengan ikhwan itu. Waaah, sempet terpikir tuh
sama aku, ini ikhwan, tarbiyahnya sehat gak ya? kok ga dikenal ya di
daerahnya sendiri? Mbak Syifa pun ga bisa bantu lagi. Kembali aku
istikharah, nanya sama Allah, gimana lagi ini caranya untuk menemukan
jalur tarbiyahnya? Dan akhirnya petunjuk itu datang. Aku teringat pas
koordinasi acara santunan anak yatim itu, aku juga koordinasi sama
seorang akhwat selain sama sang ikhwan. Tentunya sang akhwat mengenal
baik sang ikhwan karena berada di satu daerah. Akhwat itu udah punya
anak dua, Mba Nany namanya. Aku beranikan diri menyatakan hal itu ke Mba
Nany via FB, tapi izin dulu ke Mbak Syifa. Mba Syifa mempersilakan.
Alhamdulillah, Mbak Nany merespon cepat, beliau minta MR-ku untuk
hubungin beliau, kemungkinan besar Mbak Nany tahu jalur tarbiyah sang
ikhwan. Aku kasih tahulah respon ini ke Mbak Syifa dan minta tolong Mbak
Syifa hubungin Mbak Nany. Aku kasih nomor Mbak Nany ke Mbak Syifa.”
“Sambil
dimakan Ka.. “, sela-ku karena melihat nasi di piring Ka Mia masih
banyak dibandingkan nasi di piringku yang tinggal beberapa suap lagi.
Ka Mia pun menyuapkan nasi goreng seafood ke mulutnya.
“Waah,, ribet juga ya Kak, prosesnya. Salut aku, kakak sampai sebegitu beraninya.”
“Ya
namanya juga ikhtiar, Dhir.. Aku juga ga nyangka bakal seberani ini.
Tapi ya itu tadi, sebelum bertindak apa-apa, aku istikharah dulu, curhat
ke Allah. Dan Allah memantapkan hati ini untuk bertindak pada akhirnya,
makanya aku berani. Pas mau cerita ke Mbak Syifa n Mbak Nany aja, ada
rasa ga berani.. Tiap mau kirim message, pasti didelete lagi, diurungkan
niatnya. Baru ada keberaniaan mengirim message setelah shalat
istikharah..”
Masya Allah, baru kali ini aku mendengar cerita
akhwat yang mencari jalur tarbiyah ikhwan. Biasanya, ikhwan yang
berusaha mencari jalur tarbiyah akhwat. Benar-benar jalan yang ditempuh
berbeda dari yang lain. Tak sabar diri ini menunggu cerita selanjutnya
dari Ka Mia.
“Trus akhirnya udah ada progress dari Mbak Nany n Mbak Syifa?”
Ka Mia menyeruput juice strawberry-nya baru kemudian melanjutkan cerita, dengan sedikit menghela nafas.
“Huuffhh.
Ya, aku udah dapet kabar dari Mbak Syifa, baru aja kemarin Mbak Syifa
meminta aku ke rumahnya. Jadi ternyata, Mbak Nany itu harus nanya dulu
ke Murabbiyahnya untuk mencari tahu siapa Murabbi sang ikhwan. Makanya
agak lama juga progressnya, hampir satu bulan. Mbak Syifa ga tau
bagaimana MR Mbak Nany mengkomunikasikan hal ini ke MR sang ikhwan, yang
jelas Mbak Syifa mohon tidak menyebutkan namaku, untuk menjaga izzah.
Trus barulah dapet kabar kalo MR ikhwan itu agak keberatan dengan akhwat
yang mengajukan diri lebih dulu, dan ada kemungkinan MR ikhwan itu
sudah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Mungkin sang MR
menginginkan binaannya ta’aruf dimana masing-masing belum saling kenal,
berbekal dari CV pilihan sang MR, masih seperti jaman awal dakwah dulu.
Kalo kata Mbak Syifa, kebanyakan MR ikhwan itu biasanya memang masih
belum menerima jika ada akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, beda
dengan MR akhwat yang lebih terbuka dan ga mempermasalahkan kalo ada
akhwat yang mengajukan diri. Jadi memang agak sulit kalo Mbak Syifa
harus ngomong langsung ke MR sang ikhwan. Soalnya kan udah tau pandangan
MR ikhwan itu terkait akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, seperti
apa. Lagipula sempat disinggung kemungkinan sudah ada proyeksi akhwat
lain untuk sang ikhwan dari MRnya. Kalo Mbak Syifa langsung menghubungi
MR sang ikhwan, itu pasti mau ga mau akan membuka namaku. Mbak Syifa
juga masih bingung makanya mau gimana kelanjutannya dan keputusan itu
diserahkan ke aku; mau dihentikan atau mau tetap lanjut tapi gimana
caranya? Ya, gitu deh ceritanya.. Gimana tanggapanmu, Dhir?”, Ka Mia
mengakhiri cerita itu dengan senyum simpulnya.
Aah.. Ka Mia masih
bisa tersenyum dengan kabar seperti itu. Jika aku berada di posisinya
mungkin sudah menyerah dengan perjuangan untuk menuju ta’aruf yang super
duper ribet seperti itu. Belum aja ta’aruf, sudah ribet sedemikian
rupa, apalagi jika sudah ta’aruf dan menuju jenjang pernikahan. Mungkin
ini yang disebut perjuangan untuk sebuah rasa yang harus
dipertanggungjawabkan.
“Hoalah.. Kok ribet banget ya ka? MR ikhwan
udah jelas-jelas keberatan kalo akhwat mengajukan diri lebih dulu dan
sepertinya udah punya proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan. Uppss..
maaf Ka.. “, aku menahan kata-kata lainnya untuk dikeluarkan, khawatir
menyinggung perasaan Ka Mia.
“Kok minta maaf? Ga papa Dhir.. Ya
begitulah ikhwan, kadang sulit dimengerti. Aku juga belum tau apakah
sang ikhwan memiliki kecenderungan yang sama atau ga sepertiku.
Masalahnya, baru kali ini aku menemukan seseorang yang aku rasa ‘klik’
denganku, maka aku mau coba berusaha mengikhtiarkan jalan ini. Di usia
yang sudah seharusnya menikah, apalagi yang ditunggu jika ada seseorang
yang dirasa sudah cocok dengan kita. Jalan satu-satunya adalah
mengikhtiarkan walaupun aku belum tau sebenarnya apakah ikhwan itu punya
kecenderungan yang sama. Jika sudah diikhtiarkan jadi ga penasaran,
apapun itu hasilnya. Toh kalo jodoh ga ke mana kan?”
Aah..
Kata-katanya ini sungguh menancap dalam ke relung hatiku. Usia Ka Mia
yang saat ini sudah menginjak 26 tahun memang sudah selayaknya menikah.
Aku saja yang 3 tahun di bawahnya juga sedang dalam pencarian dan
penantian, apalagi Ka Mia yang sudah bertahun-tahun mencari dan menanti.
Tak terbayangkan bagaimana perasaannya selama itu menanti.
“Iya,
ka.. insya Allah jodoh ga pernah ketuker. Kalo memang Ka Mia berjodoh di
dunia ini dengan ikhwan itu, insya Allah jalan menuju ke sana pasti
terbuka. Hm.. kalo menurutku ga masalah sebenernya akhwat mengajukan
diri lebih dulu, itupun ada contohnya dari bunda Khadijah. Ya tapi
memang ga lazim aja di jaman sekarang ini, masih dianggap tabu bagi
sebagian besar orang. Oya, aku mau tanya sama kakak donk, apa kakak udah
tahu betul bagaimana akhlaq sang ikhwan hingga akhirnya kakak berniat
mengajukan diri lebih dulu? “, naluri konsultan mulai muncul dalam diri.
“Insya
Allah udah, Dhir. Ketika aku mengutarakan hal ini ke Mbak Nany, yang
juga kenal baik dengan ikhwan itu, aku juga minta dijelaskan bagaimana
karakter dan sifat sang ikhwan selama bekerjasama dengan Mbak Nany. Mbak
Nany bilang, sang ikhwan punya daya juang yang tinggi, walau terlihat
selengekan termasuk yang mudah dinasihati. Untuk kesiapan menikah dalam
waktu dekat, Mbak Nany melihat sudah ada kesiapan dari sang ikhwan. Tapi
mungkin ada sedikit masalah pada financial karena sang ikhwan masih
harus membiayai adiknya yang masih SMA dan yang masih skripsi. Dari
penjelasan Mbak Nany, makin memantapkan diriku, Dhir.”, jelas Ka Mia.
“Hoo..
bagus deh kalo gitu Ka. Karna kan ketika bunda Khadijah ingin
mengajukan diri, beliau mencari tahu dulu akhlaq Muhammad melalui
perantara Maisarah, orang kepercayaannya, dengan melakukan perjalanan
dagang bersama. Trus setelah tahu dan mantap, baru deh meminta Nafisah,
wanita setengah baya, untuk ngomong dari hati ke hati sama Muhammad. Ga
langsung nembak bahwa Khadijah suka dan menginginkan Muhammad sebagai
suaminya. Tapi menanyakan hal-hal umum terkait kesiapan Muhammad tentang
pernikahan dan apakah sudah ada calon atau belum. Ketika Muhammad
bilang belum ada calon, maka Nafisah mengajukan wanita dengan kriteria
tertentu, rupawan, hartawan dan bangsawan, tidak menyebutkan bahwa
Khadijah-lah orangnya. Namun dari kriteria yang disebutkan itu, Muhammad
pun paham siapa yang dimaksud. Ya, berarti kakak udah menempuh jalan
sampai tahap Maisarah, tinggal mencari Nafisahnya Ka.”
“Hmm.. iya betul, Dhir.. Aku juga sempat terpikir hal itu, tapi siapa ya yang bisa menyampaikannya?”
“Sebenernya
menurutku, Mbak Nany juga bisa langsung berperan sebagai Nafisah. Tadi
kan kakak bilang agak sulit dengan MR ikhwannya. Kan bisa aja Mbak Nany
yang mancing lebih dulu, untuk ta’aruf selanjutnya bisa diserahkan via
MR, jika tentunya sang ikhwan juga punya kecenderungan yang sama.
Setidaknya Mbak Nany bisa mengorek informasi apakah sang ikhwan sudah
punya calon yang akan dinikahi atau belum, atau sudah ada kecenderungan
dengan akhwat lain atau belum. Kalo belum, bisa aja dengan sedikit
candaan, Mbak Nany menawarkan ke sang ikhwan, sambil ngomong kayak gini:
saya ada akhwat niih yang udah siap nikah dan sedang mencari
pendamping, bersedia ga? Kriterianya blablabla, nyebutin kriterianya Ka
Mia. Kalo sang ikhwan bersedia dengan kriteria yang disebutin, Mbak Nany
bisa langsung kasih tahu kalo akhwat yang udah siap nikah itu adalah Ka
Mia. Mbak Nany, Ka Mia dan sang ikhwan kan udah saling kenal, jadi
lebih gampang seharusnya. Nah, nanti kan jadi makin tahu gimana respon
sang ikhwan jika ternyata akhwat yang ditawarkan itu Ka Mia. Kalo ikhwan
bilang lanjut, maka dia bisa langsung bilang ke MRnya kalo dia sudah
siap nikah dan sudah punya nama. Kalo udah binaan sendiri yang bilang ke
MR mah, biasanya udah gampang Ka, apalagi udah ngajuin nama. Kalo kayak
gini prosesnya kan jadi ga keliatan kalo Ka Mia yang mengajukan diri
lebih dulu, tapi harus bermain ‘cantik’ dalam proses, jangan sampai sang
ikhwan tahu kalo Ka Mia mengajukan diri. Hehe..”, panjang lebar aku
menjelaskan bagaimana sebaiknya penerapan proses Ka Mia dan sang ikhwan
seperti proses Khadijah dan Muhammad.
“Hwaaa.. Dhiraaaa, kamu udah
kayak konsultan jodoh aja deh. Jadi tercerahkan niih aku jadinya. “, Ka
Mia menepuk pipiku yang gembul.
“Semoga bisa sedikit ngasih
solusi untuk proses kakak yang rumit itu, masa’ hanya gara-gara MR
ikhwan, langsung mundur? Ada banyak jalan menuju Roma.. hehe..”
“Siip,, insya Allah.. Naah, kamu sendiri gimana niih Dhir? Udah nemu yang cocok denganmu belum?”, tembak Ka Mia kepadaku.
“Hehe..
aku mah sabar aja Ka dalam penantian ini, nunggu pangeran berkuda putih
dateng ngelamar aja, hehe..”, jawabku sedikit asal.
“Sabar dalam
penantian itu bagi seorang akhwat ga berarti pasif, tinggal nunggu.
Akhwat juga harus aktif dalam penantian. Jumlah akhwat itu jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah ikhwan. Terlepas dari jodoh adalah
takdir, tetep harus ikhtiar yang terbaik untuk mencari calon imam bagimu
dan anak-anakmu kelak. Memang benar jodoh itu di tangan Allah, tapi
kita juga harus aktif berikhtiar mengambil dariNYA. Kalo memang di
sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan
diri, bilang ke Mbak Syifa, katanya target tahun ini kan? Tentunya
dengan tetap menjaga izzah sebagai seorang akhwat dan jangan pernah
tinggalkan istikharah dalam mengambil tindakan apapun..”, ujar Ka Mia
memberi masukan untukku.
“Hahahaha.. ga jadi tahun ini Ka.. Ga keburu.. Jadi,, tahun depan aja targetnya insya Allah.. hehe..”
“Jiiaahh.. kamu ini udah siap belum siih? Apa cuma sekadar ingin menikah? Lagi labil gitu maksudnya..”, ledek Ka Mia.
“Siap
gak siap mah harus nyiapin diri Ka.. Tapi apa mau dikata kalo pangeran
berkuda putihnya belum muncul-muncul juga?”, aku menimpali ledekan Ka
Mia.
“Yaudah, kita saling mendoakan ya yang terbaik, dan ikhtiar
yang terbaik juga.. Jazakillah ya Dhir, udah mau denger ceritaku dan
ngasih solusinya.. Aku cerita ini cuma ke 3 orang, Mbak Syifa, Mbak Nany
dan kamu. Bahkan aku cerita detail seperti ini cuma ke kamu looh..
Hehe..”
“Sama-sama Ka, ceritanya menginspirasi banget. Jarang loh
ada akhwat yang berani mengajukan diri. Dan aku rasa, hanya akhwat
tangguh yang bisa seperti itu. Tangguh akan perasaan dan hatinya.
Alhamdulillah kalo ada respon positif dari sang ikhwan, kalo responnya
negatif? Hanya akhwat tangguh yang bisa menerima kemungkinan kedua;
ditolak.. Aku salut deh sama kakak. Semoga lancar urusannya y Ka.. Doain
aku juga, semoga pangeran berkuda putihku segera datang menjemputku..
hehe..”
“Aamiin.. insya Allah saling mendoakan yang terbaik..”
Kami
pun menyudahi dinner. Ka Mia menungguku hingga naik bajaj. Aah, sungguh
malam yang berkesan dalam kebersamaan dengan saudari seperti Ka Mia.
****
Sesampai
di rumah, kurebahkan diri ini di tempat tidur, menatap langit-langit
kamar yang tak begitu tinggi. Pandangan kualihkan ke sebelah kanan
tempat tidur. Ada sebuah diary biru yang tergembok. Aku buka dompetku
dan kukeluarkan sebuah kunci di sela-sela saku dalamnya. Gembok ‘blue
diary’ itu pun kubuka. Kuraih ballpoint tepat di samping kananku. Baru
saja tangan ini tergerak untuk menulis, terdengar sebuah dering dari
HP-ku. Kuraih HP dan terteralah sebuah pesan dari YM-ku.
“Asslm.Dhir,gmana nih kabarnya? lagi deactive FB ya?”
Aah..
Rasa yang tak biasa itu muncul lagi, tepat di hari ke-7 aku mendeaktif
akun FBku. Kenapa nama seorang ikhwan itu yang tertera di YM-ku
menyadari bahwa aku sedang mendeaktif FB-ku? Kata-kata Ka Mia pun
terngiang:
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
“….Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..”
Segera
kutepis kata-kata itu dan mencoba menepis rasa yang terlanjur ada. Tak
terasa, bulir-bulir hangat itu membasahi pipi. Kugerakkan tangan ini
untuk menulis dalam ‘blue diary’.
Jika anugrah itu membahagiakan
Maka cinta yang [katanya] merupakan anugrah dariNYA
Seharusnya juga membahagiakan
Namun adakalanya
Ada yang merasa tak bahagia dengan cinta
Atau janganlah terlalu dini menyebutnya cinta
Mari kita sebut saja sebuah rasa
Rasa yang berbeda
Yang [lagi-lagi katanya] menggetarkan jiwa
Aha
Mungkin memang belum saatnya
Rasa itu ada
Hingga diri merasa nista dengan rasa
Atau jangan-jangan rasa yang ada
Didominasi oleh nafsu sebagai manusia
Jika itu permasalahannya
Maka titipkanlah rasa pada SANG PENGUASA
Biarkan ia yang belum saatnya, bersamaNYA
Biarkan waktu yang kan menjawabnya
Hingga Dia mengembalikan rasa itu jika saatnya tiba
Wanita.. Wanita..
Slalu saja
Bermain dengan rasa
Maka mendekatlah padaNYA
Agar rasa yang belum saatnya
Tetap terjaga
Agar rasa yang ada
Tak membuat hati kecewa
Agar rasa yang dirasa
Tak membuat jauh dariNYA
Biarkanlah diri merasa nista dengan rasa
Jika ternyata nafsu tlah menunggangi ia yang belum saatnya
Hingga akhirnya membuat diri menangis pilu karenanya
Menangis karena menyadari bahwa dirinya masih rapuh ternyata
Masih perlu belajar bagaimana mengelola rasa yang belum saatnya
Ya Rabbana
Hamba titipkan rasa yang belum saatnya
Agar ia tetap suci terjaga
Hingga waktunya tiba
Aah..
Aku bukanlah akhwat tangguh yang bisa memperjuangkan rasa yang
terlanjur ada. Aku hanya akhwat biasa yang tak sanggup akan rasa yang
belum saatnya, karena aku bukanlah Khadijah yang mulia.
—
based on true story