LANTUNAN CINTA UMMI
Oleh: Yusna Fadliyyah Apriyanti
“Bismillah hirrohman nirrohim…
artinya Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Ai,
anak Ummi yang sholihah”. Begitu panggilanku waktu kecil, mungkin sulit untuk
banyak orang memanggil lengkap dengan nama Aisyah. Ummi terus menjelaskan ayat
per ayat dengan artinya juga penjelasannya yang selalu ia ulang tiap malam.
“Jadi
Aisyah sayang, setiap kamu melakukan sesuatu nanti, biasakan selalu diawali
dengan menyebut namaNya, Ar rahman yang artinya Maha Pengasih dan Ar Rahim
artinya Maha Penyayang, walaupun ummi sayang sama Aisyah, tapi sudah pasti
cinta Allah untuk Aisyah lebih besar dari cinta ummi”, Itulah penjelasan ummi
untuk satu ayat mujarab itu, Bismillahirrohmanirrohim.. Sungguh sangat berarti
kata-kata itu bagiku.
Saat
itu pasti, aku sudah terlelap tidur di dalam dekapannya. Di dalam kehangatan
cinta yang masih bisa kurasakan hingga detik ini, walaupun sulit untuk dinikmati.
Tapi walau bagaimanapun, itulah waktu yang paling berharga bagiku.
***
Pagi
itu aku pulang ke rumah setelah 6 Bulan harus menahan semua rasa rindu pada keluargaku.
Terang saja begitu lama, karena aku saat ini sudah berumur 14 tahun. Aku
memutuskan untuk melanjutkan studi ku di MTs Husnul Khotimah, yaitu suatu
Pondok Pesantren yang berada di Kuningan Jawa Barat,saat lulus dari sekolah
dasar.
Saat
itu sedang liburan semester ganjil, untungnya di pesantrenku selalu ada konsul
untuk setiap anak-anak yang tinggal di luar daerah, sehingga abi dan ummi tak perlu
harus jauh-jauh menjemput ke pondok. Bis konsul berangkat jam 10 malam untuk
menghindari kemacetan di jalan dan kita para penumpangnya bisa tidur juga
hingga sampai di tempat tujuan jam 4 pagi.
Pagi
ini abi sudah janji menjumputku di tempat pemberhentian terakhir bis konsul,
yaitu di Islamic Center, Bekasi Barat. Sudah 1 jam aku menunggu kedatangannya,
tapi tak juga kunjung terlihat tanda-tanda kedatanganya. Teman-temanku satu per
satu harus pergi mengikuti orang tuanya yang telah menjemput mereka. Aku hanya
bisa memberi salam dan sedikit senyuman kepada mereka, walau sebenarnya hatiku
semakin tak tenang.
“Ai,
aku duluan yah”, temanku Lula membuyarkan pandanganku yang sedang fokus melihat
jalanan.
“Oh
ia la”, Jawabku sambil kupaksa tersenyum
“Tidak
mau ikut denganku? Bukankah rumah kita sejalan?”, Katanya bertanya kembali
setelah tadi sudah ku tolak ajakannya.
“Ia,
tidak la”, Kataku yakin, sambil memegang tanganya. Walau sebenarnya aku masih
ingin ia temani sampai abi datang, tapi aku tahu bagaimana perasaanya yang tak
sabar lagi untuk pulang ke rumahnya.
Rasanya
ingin sekali aku marah pada abi, apakah abi tidak memahami perasaanku, sudah
sekian lama aku menunggu tanpa kejelasan sama sekali. Aku sudah mencoba menghubunginya
tapi tetap saja abi tidak menerima telefeonku. Saat do’a terus mengalir
bersamaan dengan ketidak jelasan ini, akhirnya klakson mobil mengagetkanku.
Rasanya ingin sekali aku menangis melihat pria itu, tak tahu harus bagaimana,
marahkah atau bahagiakah, aku langsung berlari menghampirinya, memeluknya
kemudian baru kupukul perutnya agak keras, sebagai tanda bahwa abi sudah
membuat kesalahan karena membiarkanku menunggu.
“Abi
jahaat”, Kataku sambil memeluknya dengan erat, sungguh walaupun kesal dan
memukul perutnya, tapi percayalah itu caraku menyayanginya.
“Aduh
Aisyah sayang, maafin Abi yah.. Aisyah mau memukul bagian yang lain lagi?”, Abi
malah menggodaku, sambil menawarkan perut sebelahnya untuk dipukul lagi.
Begitulah abi dengan sifatnya yang selalu membuat aku harus kembali menahan
amarah, karena Abi sangat pandai membuat semua orang tersenyum.
Setelah
sedikit memberikan sebuah ‘salam pertemuan’, aku meminta untuk segera pulang.
Aku baru menyadari bahwa ummi tidak ada bersama abi saat itu.
“Ummi
dimana bi? Kenapa tidak ikut menjemput Ai?”
“Tenang
Ai, ummi sedang mempersiapkan sesuatu di rumah. Kita punya kejutan untuk Aisyah..
Jadi jangan cemberut mulu yah”. abi memulai perbincangan di dalam mobil dengan
membuatku penasaran. Itulah abi dengan keahliannya membuat aku harus memutar
balik otak agar bisa menebak semua teka-tekinya. Aku sungguh bersyukur
mempunyai Abi yang sangat ceria, yang selalu menularkan keceriaanya kepada
keluarga kecilku. Oh yah, aku belum menceritakan tentang abi. Abi seorang
dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta. Beliau aktif juga di salah satu
lembaga sosial, yang terbiasa dengan program bantuannya pergi keluar kota
bahkan ke luar negri sebagai seorang relawan.
***
“Assalamu’alaikum”,
Teriakku saat membuka pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam”, Jawab ummi
samar-samar. Aku tahu itu suara ummi, lansung saja tanpa basa basi aku
menghampirinya. Saat itu ingin rasanya aku langsung memeluknya, tapi aku
berhenti karena terkaget melihatnya terbujur di atas kasur. Yah, terbujur
dengan mukanya yang pucat.
“Apa yang terjadi dengan ummi?”.
Sungguh aku ingin menangis melihatnya, tapi ku tahan sejenak. Aku tak mau
melihat ummi sedih saat melihatku menangis. Melihat Ummi terbujur di tempat
tidur, Abi langsung berlari ikut menghampiri.
“Apakah ummi tidak enak badan lagi?”,
Tanya abi seakan tahu banyak tentang keadaan ummi saat itu,
“Ia, tapi Alhamdulillah sudah tidak
apa-apa. Ummi cuma habis istirahat sebentar. Ummi minta maaf tidak bisa ikut
menjemput Aisyah”. Katanya pelan-pelan, walaupun nampak dari raut wajahnya yang
pucat pagi itu, tapi ia coba tersenyum dan terus meyakinkan kita bahwa ia
baik-baik saja.
“Ia mi, Alhamdulillah Aisyah udah
nyampe rumah dengan selamat, walupun harus menunggu abi satu jam”. Kataku sambil
melirik Abi dengan sinis dan mencoba menghargai jerih payah ummi untuk tetap
tersenyum menyambutku.
“Pasti abi mulai lagi yah Ai. Dasar
abi.. memang selalu bisa bikin Aisyah ngambek”. Ummi mulai mencubit Abi, yang
sedang memperlihatkan muka tanpa rasa bersalahnya.
“O yah bi, katanya ummi lagi nyiapin
kejutan buat Ai, kejutannya apa bi?”, Aku menatap mereka berdua bergantian
dengan wajah penasaran.
“Hmm.. ia sayang, ummi lagi
menyiapkan sebuah kejutan besar di perutnya. Hadiah yang sudah lama Ai tunggu,
seorang adik”, jawaban abi sungguh mengagetkanku. Aku yang memang sudah lama
berharap bisa menjadi seorang kakak, akhirnya bisa mendengar kabar gembira ini
setelah umurku 14 tahun. Terimakasih Ya Allah..
“Kalo
ini, baru beneran kejutan. Makasih ummi dan abi”. Senangnya aku memeluk mereka
berdua lengkap, ummi disebelah kananku dan abi di sebelah kiriku. Akhirnya
keluarga kecilku akan bertambah dengan kehadiran adik kecilku nantinya.
***
Sore
itu aku pulang dari rumah Lula yang ternyata memang dekat, langit sedang mendung.
Aku pulang ke rumah dan mendapatkan ummi sedang pergi ke Rumah Sakit. Aku menunggu
di rumah hanya ditemani pembantu rumah yang sedang menyiapkan makan malam. Aku
tak tahu mengapa hatiku tak tenang, tapi kutepis jauh-jauh perasaan yang tidak
karuan itu. Karena bisa jadi perasaan was was datang dari bisikan setan.
Ummi pulang sendirian, tak kulihat
sosok abi disampingnya. Aku langsung menghampirinya. Kulihat matanya sembab tak
tahu mengapa. Walau sudah ia coba memperlihatkan senyumannya, tetap saja mata
sembab itu tidak bisa tertutupi.
“Ummi kenapa?”. Aku menghampirinya
sembari menggandeng tangannya.
“Enggak kenapa-kenapa kok Aisyah.
Ummi baik-baik saja”. Jawab ummiku dengan tenang.
“Trus kenapa ummi nangis?”. Heranku.
“Ummi nggak nangis kok Ai, ummi Cuma
kelilipan tadi. Alhamdulillah hasil check upnya baik-baik saja. Adikmu juga
baik-baik saja kok Ai”. Ummi mulai meyakinkanku dengan semua alasannya. Tak
tahu mengapa, saat itu aku sangat percaya dengan pernyataanya.
“Yaudah mi, sekarang ummi istirahat
yah. Adek jangan nakal, jagain ummi yah”. Kataku sambil mengelus perut ummi. Kulihat
ummi tertawa melihat tingkahku. Tiba-tiba saja ummi jatuh, ummi memegang
kepalanya dan memijitnya sekuat tenaga, aku yang saat itu sedang menggandeng
tangannya bingung harus bagaimana mengangkat tubuhnya yang jatuh. Akhirnya
dengan bantuan bibi, aku mengangkat ummi ke kamar untuk istirahat, sekali lagi
aku melihat wajahnya yang sangat pucat.
Malam
itu Abi pulang larut malam, tapi kulihat ummi masih saja melayani Abi dengan
tulus. Ummi siapkan makanan, baju, dan juga air panas untuk Abi mandi. Hal yang
sekarang baru aku sadar pada saat itu adalah, hari itu ummi tidak memberi tahu
Abi bahwa ummi baru saja pergi ke rumah sakit yang berbeda dengan rumah sakit
tempat abi bekerja. Ummi selalu memperlihatkan wajah cerianya selama ini. Wajah
yang selalu menjadi motivasiku tiap kali bangun tidur.
***
Pernahku
lihat saat tiba-tiba bangun dari tidur, ummi sedang berada di musholah rumahku
sambil terduduk menangis. Saat itu tak pernah terpikir olehku bahwa ummi sedang
memikul suatu kenyataan yang berat. Kenyataan yang harus kuakui bahwa selama
ini aku sangatlah lengah, sangat tidak peka melihat semua itu. Setiap
dispertiga malam aku melihat ummi selalu sholat dan menangis, tapi ketika pagi
hari hingga malam datang ia selalu tersenyum ikhlas, tersenyum tanpa memperlihatkan
beban sama sekali.
***
Suatu waktu sehabis sholat shubuh
berjama’ah, Abi meminta aku dan ummi agar tetap duduk diatas sajadah. Ia
membalikkan badan kemudian menarik nafas dengan panjang. Pagi itu abi meminta
izin kepada kami untuk pergi ke Makah sebagai dokter yang menangani jama’ah
haji. Seperti biasa, tanpa minta izin pun, ummi pasti akan mengizinkan dan
selalu mendukung keputusan abi menolong orang.
***
Mulai saat itu beberapa kali ketika
memasak aku melihat ummi menetaskan darah dari hidungnya, tapi ummi selalu
beralasan bahwa ia mungkin sedang kecapaian. Tapi tak tahu mengapa, setiap kali
ia memberi penjelasan tentang semua hal-hal aneh yang ia alami selama ini,
selalu saja aku percaya alasanya dan aku tak pernah menyampaikannya pada Abi.
Pernah juga dulu ummi minta
diantarkan ke kamar, karena tak kuat berdiri lama-lama saat sedang menyiram
tanaman. Entah mengapa ia terus menerus mengelus tulang punggungnya, kukira
dahulu mungkin semua orang yang sedang hamil akan merasakan hal yang sama. Dan
semua keminiman pengetahuanku terhadap penyakit ini membuat aku harus mengakui
bahwa aku sudah terlambat selama ini.
***
Hari
yang tidak pernah aku nantikan akhirnya hadir juga, hari dimana aku harus
berpisah dengan ummi karena harus kembali ke pondok. Di hari yang sama pula, Abi
harus pergi ke tanah suci dalam mengemban amanahnya itu. Pagi itu ummi memberikan
pelayanan terbaik kepada kami. Kulihat hari itu ummi begitu sehat dan ceria,
bisa kulihat ummi memakai bedak untuk menutupi mukanya yang pucat, mengantarkan
kita pergi sampai depan rumah dan tak lupa memberikan senyuman indahnya itu.
Sebelum berangkat aku mencium tangan ummi lama sekali, tak tahu kenapa rasanya
seperti ingin berpisah lama, padahal aku hanya kembali ke pomdok seperti
biasanya.
“Tuntutlah ilmu sebaik-baiknya yah
Aisyah sayang, kelak nanti agar bisa bermanfaat bagi orang banyak, dan bisa
menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya”. Nasihat ummi sambil mencium keningku
lama sekali, bisa kurasakan kehangatan itu. Kehangatan cintanya yang sangat
dalam.
***
Di
rumah, ternyata sosok perempuan yang lemah sedang dibawa ke rumah sakit oleh
keluarganya. Mungkin karena rasa nyeri yang tak pernah selesai ia rasakan itu.
Memang kanker itu penyakit yang begitu kejam. Sudah lama sekali dokter
menyarankannya untuk di rawat di rumah sakit. Hari itu mungkin perempuan itu
sedang di puncak rasa menahan sakitnya itu. Ia sadar bisa saja ia mulai
mengambil tindakan setelah di vonis Leukimia 2 bulan yang lalu. Tapi tetap saja
ia tak pernah ingin mengambil resiko dengan sebuah keputusan itu. Keputusan
pertama yang selalu ditawarkan dokternya ketika ia tahu bahwa perempuan itu
sedang mengandung, yaitu menggugurkan kandungannya. Mungkin alasan dokter
sangatlah jelas, karena seorang yang mengalami Leukimia harus berjuang keras
mempertahankan sel darah merah yang kian lama kian menurun untuk dirinya
sendiri, tapi disisi lain perempuan ini harus membagi sel darah merahnya kepada
janin yang sedang ia kandung. Pantas saja yang ia pilih adalah, jalan untuk
tidak melakukan aksi sama sekali. Ia hanya meminta obat yang bisa diminum saja
dan meyakinkan dokter bahwa ia akan istirahat di rumah.
Hari
itu mungkin terlalu pilu juga bagi keluarganya mengetahui hal pahit itu. Hal
pahit yang tidak pernah mereka sangka, bisa di pikul perempuan itu sendiri.
Mereka sangat tahu bagaimana sikap keras dari perempuan itu, tapi untuk
penyakit ini, kenapa baru sekarang mereka di beri tahu. Yang paling mengagetkan
bagi mereka adalah, ternyata suami dan anak dari perempuan itu belum tahu
perihal penyakitnya ini. Perempuan itu lebih memilih memperjuangkan keselamatan
bayinya dengan menyerahkan sepenuhnya terhadap keajaiban. Keajaiban yang selalu
ia pinta di setiap penghujung malam ia mendatangi Rabnya. Kekuatan yang berasal
dari harapan besar keluarganya untuk melihat bayi kecil itu. Bayi yang sudah di
tunggu-tunggu selama 14 tahun.
Perempuan
itu sedang mengalami sesak nafas yang hebat, akhirnya dokter mengambil jalan
cepat untuk memberinya oksigen. Ibu dari perempuan itu selalu memberikan
semangat disampingnya. Ia tahu betapa hebat anaknya melawan penyakit itu selama
ini. Benar-benar terkaget Ibu dari perempuan itu, saat anaknya dinyatakan
mengidap Leukimia. Padahal boleh dikatakan selama ini, perempuan ini adalah
anaknya yang sangat jarang sakit. Bisa dihitung kapan saja ia harus terbaring
di tempat tidur karena sakit. Sungguh tak menyangka ibunya, penyakit itu bisa
cepat menyerang putri sulungnya itu. Sebagaimana pernyataan dokter bahwa
perempuan ini terkena penyakit Leukimia akut. Dokterpun tidak menyangka selama
ini perempuan itu masih bisa kuat melawan penyakitnya. Biasanya untuk penderita
leukemia akut Apabila tidak segera diobati, maka dapat menyebabkan kematian
dalam hitungan minggu hingga hari.
Saudara
dari perempuan itu mencoba mengabarkan suaminya, yang mereka semua tahu ia
sedang berada di Makah saat itu.
***
Tidak
tahu mengapa belakangan ini, ia selalu teringat dengan senyuman istrinya. Sudah
2 minggu sejak ia mengambil keputusan untuk menjadi tim medis untuk jama’ah
haji. Begitu sampai masih bisa ia dengar suara istrinya yang tenang, yang
selalu menjadi penggugur semua rindu yang merasuk dadanya. Tapi mulai 1 minggu
lalu, sulit sekali ia menghubungi istrinya, Dari telepon rumah sampai nomer
istrinya ia hubungi, tapi taka da satupun yang aktif.
Sore itu saat orang-orang di Makkah
telah melaksanakan sholat ashar, pemuda itu mengambil keputusan untuk berdiam
diri, dan mengadukan semua hal yang ia rasakan kepada Rabnya. Ia memulai
menyalakan HP-nya yang sudah ia set getar, agar tidak dimarahi penjaga masjid
di Makkah. Ternyata ada 2 nomer Indonesia yang baru saja menelfon. Melihat
nomer itu tiba-tiba mengingatkan kepada sosok yang sedang ia rindukan saat itu.
Ia berniat menelfon balik tapi sebelumnya ia berdo’a.
“Ya Allah, yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Terimakasih karena selama ini telah memberikan keluarga yang
sempurna untukku, memberiku seseorang pendamping yang luar biasa dan memberi
kesempatan untuk membesarkan seorang putri yang saat ini sedang menuntut ilmu
di pesantren. Sungguh besar karuniamu selama ini, aku mohon maaf ya Allah, jika
sampai detik ini aku masih belum bisa menjadi hambaMu yang benar-benar beriman,
yang kadang terus mengeluh dengan apa yang terjadi di muka bumi ini. Ya Allah,
sulit bagi hamba menahan semua perasaan khawatir ini, tapi tak kuat lagi hamba
tahan. Hamba memikirkan istri hamba ya Allah, Kuatkanlah Ia dalam menerima
setiap cobaan yang Kau beri, istri sholihah yang selalu membuat hamba ceria.
Sebelum berangkat hamba selalu melihat mukanya yang pucat, tapi lagi-lagi hamba
harus menahan sikap ingin tahu itu, hamba menghargai semua usaha istri hamba
menahan semua penyakitnya itu. Sungguh ingin sekali hamba berada disampingnya
saat ia mengalami masa-masa kritis, tapi dari semua pelayanannya, hamba tidak
ingin menjadi beban pikiran lagi saat harus ikut menangis melihat keadaanya
yang semakin melemah. Sebagai dokter hamba punya firasat yang kuat tentang
suatu penyakit yang sedang ia derita, tapi jauh-jauh selalu hamba tepis. Hamba
takut menerima kenyataan nantinya. Tapi lagi-lagi itu semua hanya masih dalam
pikiran hamba. Ya Allah sulit sekali rasanya menghubunginya. Hamba mohon,
langsung dari rumahMu yang suci ini, sembuhkan semau penyakit yang menimpanya.
Berikan selalu kekuatan terhadap dirinya. Berikan selalu ia kekuatan ya Allah.
Kalau boleh, biar hamba saja yang merasakan semua itu, biar hamba saja yang
merasakan semua sakit yang sedang ia derita. Hamba mohon berikan ia selalu
kekuatan Ya Allah.”. Doa pemuda itu, saat mulai lagi kekhawatiran berlebh
merasuk pikirannya.
Sungguh
saat ia menerima sms selanjutnya yang mengabarkan istrinya masuk rumah sakit
karena terkena leukemia, ia tidak pernah membayangkan hal itu yang menjadi
penyakit yang selama ini istrinya tahan. Hari itu juga ia memohon kepada
atasanya untuk pulang ke Indonesia, dan menghubungi rekanya yang bisa
menggantikan posisinya saat itu. Di perjalan tidak henti-hentinya ia berdzikir,
berdo’a dan menangis.
***
Disaat
aku baru saja pulang sekolah, tiba-tiba kudengar pusat informasi menyuruhku
pergi ke kantor pengurus asrama. Saat dipanggil, kurasakan getaran hebat dalam
diriku. Aku tak tahu mengapa tapi aku tahu ada hal yang tidak beres. Saat aku
sampai di sebuah ruangan. Disana ada pembimbing asramaku sedang duduk dan
menyuruhku duduk di depannya.
“Bismillahirrohmanirrohim”. Ia
memulai membuka pembicaraan, tapi mendengar kalimat itu keluar dari mulut
ustadzah, aku langsung ingat seseorang. Seseorang yang pertama kali mengajarkan
kaliamat bsmillah hirrohman nirrohim.. Dengan Menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Maha Pengasih.. lagi Maha Penyayang. Ummiii..
tiba-tiba sebuah guncangan hebat membuat hati dan otakku segera saja ingin
bertemu ummiku. Sebelum ustadzah memulai pembicaraan, aku langsung keluar dari
ruangan itu dan tepat di luar ruangan aku melihat tanteku, adik ummi sudah
memelukku dan berkata.”Ayo kita pulang”.
Matanya
yang sembab membuatku makin khawatir dengan semua keadaan ini. Aku tak bisa
berhenti menangis walau masih tak tahu apa penyebab aku diajak pulang oleh
tanteku itu. Saat itu aku terus memikirkan ummi, tidak tenang dan terus
mendo’akannya selama perjalanan pulang. “Ya Allah apa yang sedang terjadi
dengan ummi. Berikan selalu kekuatan kepada dirinya ya Allah”.
Di
perjalanan pulang, tanteku menjelaskan semuanya yang sedang terjadi pada ummi
saat ini.
***
Di
salah satu Rumah Sakit yang memang khusus menangani penderita kangker. Kulihat
ummi sedang tebujur di tempat tidur lemah. Saat itu ada oksigen yang membantu
ia bernafas dan infus yang menusuk tanganya. Dari kejauhan aku melihat abi
datang dengan mata sembab. Aku tahu saat itu abi sedang berusaha menghapus
kesedihannya agar bisa menguatkan ummi. Melihat abi mencuci muka, akupun ikut
mencuci muka dahulu sebelum masuk kedalam ruangan ICU itu. Aku bersama abi
akhirnya duduk disamping ummi.
“Ummi sayang, jangan khawatir yah.
Abi selalu disamping ummi. Ini juga ada Ai disamping Abi”. Aku kemudian tersenyum
kepada ummi. Sungguh aku tak bisa sekuat Abi, akhirnya pertahananku menahan air
mata bobol juga. Aku menangis sejadi-jadinya, tapi ummi hanya menatapku dan
mengelus pipiku mencoba menghapus air mataku. Kemudian aku pegang tangannya
lekat dan kupeluk.
“Bi, ma..afin um..mi yah”. Ummi
menjawab dengan terbata. Kemudian Abi membalas dengan mencium kening ummi lama
sekali. Aku bisa melihat air matanya keluar, tapi langsung saja ia hapus
sebelum ummi menyadari hal itu.
“Maaf untuk apa mi.. Abi justru yang
ingin berterimakasih karena selama ini selalu menjadi istri abi yang sholihah,
melayani Abi dengan baik, menjadi ibu bagi Ai yang selalu mengajarkan kebaikan.
Terimakasih ya ummi sayang”. Abi terus memberi kekuatan kepada ummi.
“Ma afin um..mi yang belum bisa
memberi adik untuk Ai sampai saat ini”. Ummi melihat aku dan Abi bergantian.
“Ia ummi, Ai nggak apa-apa kok ga
punya adik. Ai Cuma ingin ummi sehat lagi”. Aku mulai lagi dengan tangisan hebatku.
Aku memang tak sepandai abi menahan kesedihan ini.
“Ia ummi, ummi pasti bisa sembuh..
ummi pasti bisa kuat lagi, kumpul sama kita. Ummi pasti bisa kuat.. semangat
yah ummi.. insya Allah kita selalu mendo’akan ummi”. Jawab abi menyalurkan
kekuatan kepada kami berdua.
“Bi, Ai.. sejujurnya ummi udah nggak
sanggup lagi menahan ini semua, boleh tidak kalian mengizinkan ummi untuk
istirahat?”. Aku tau maksud perkataan ummi, langsung saja aku menggeleng. Aku
tak mau hal itu terjadi, sungguh tak mau.
“nggak boleh”. Jawabku sambil
menangis lagi.
“Ai.. biarkan ummi istirahat”.
Sungguh begitu besar cinta Abi terhadap ummi sampai ia rela berkata begitu, ia
mungkin juga tahu bagaimana menderitanya ummi harus menahan itu semua.
“Nggak maauuu”. Aku tetap saja
menggeleng dan menangis.
“Ai sayang. Ummi Cuma istirahat kok,
ummi selalu bersama Ai, ummi akan selalu ada di hati Ai”.Ummi menunjuk dadaku.
“Aisyah anak ummi yang kuat. Jadilah
Aisyah sesungguhnya yah anakku, wanita yang cantik, cerdas, serta luas ilmunya.
Jadilah ibu yang baik juga nantinya untuk anak-anakmu”. Sekali lagi ummi
membuatku tak bisa berkata apa-apa.
“Bi.. maafin ummi yah, yang selama
ini belum bisa menjadi istri yang baik buat Abi. Setelah ummi istirahat nanti,
abi harus mencari ummi lain buat Aisyah yah”. Kata ummi sambil menatap abi dan
memegang pipi abi. Abi tak kuat lagi menahan semua itu, akhirnya ia mulai
menangis. Saat itu pula umi mulai sesak nafas kembali, sulitnya ia bernafas
menyebabkan kata-katanya yang kurang jelas.
“Ummi juga akan selalu di hati Abi,
insya Allah ummi akan menjadi yang terakhir untuk Abi. Semoga kita bisa
dipertemukan lagi di surgaNya nanti”. Jawab Abi meyakinkan, dapat kuliat saat
itu begitu besar cinta Abi.
“Aisyah juga nggak mau jadi anak
durhaka mi, Ai ikhlas kalau ummi harus istirahat sekarang”. Kataku sambil
memandang ummi dengan sayang.
“Asyhadu
alaa.illaha..illallah wa Ashadu anna muha..mmadarrosulu llah”. Begitu cepat
ummi mengeluarkan nafas terakhirnya. Setelah mengucapkan kedua kaliamat
syahadat. Aku tak bisa berhenti menangis melihat kepergian ummi. Abipun tak
henti-hentinya mencium kening ummi. Saat itu hari Jum’at, dan ummi meninggal
tapat setelah adzan ashar berkumandang. Semoga ummi termasuk hambaNya yang
husnul khotimah. Tak pernah berhenti aku berdo’a setiap hari agar bisa masuk
syurgaNya, dan dapat berkumpul kembali dengan keluarga kecilku bersama dengan
adik yang belum sempat aku lihat wajahnya.-END-
Sangat butuh komentar kalian.. untuk mencapai tahapan keabadian ini.. Cerpen pertama yang saya buat karena tugas dari mentoring kelompok 3 FLP Ciputat. Semoga bisa terus berkembang menjadi penulis yang hebat.. amiin.. :)