Sabtu, 14 Desember 2013

Merapikan Kenangan



Kenangan bagiku adalah potongan-potongan kisah yang telah mewarnai hidup kita, ada yang membuat bahagia, menyenangkan, membuat selalu semangat, biasa saja dan ada juga yang sangat menyakitkan. Bagiku merapihkan kenangan, tak semudah membalikan tangan. Karena kesedihan ada melengkapi kenangan itu, dan terkadang kesedihan memenuhi separuh dari kenangan sehingga mampu menutupi bagian dari keindahan dalam memori. Ketika kesedihan menghasilkan kesakitan sampai ke ulu hati, pada akhirnya sulit sekali untuk menerimanya ada. Melupakan menjadi pilihan, namun melupakan ternyata bukan menjadi solusi kawan. Karena ketika kita berusaha melupakan memori kesedihan itu, bahkan menghapusnya dari data kenangan dalam angan kita, pada saat yang sama kita sedang mengulang kembali memori kesedihan itu, hingga akhirnya rintik air mata tak mampu lagi terbendungi.
Merapihkan kenangan terkadang menjadi hal yang sulit, ketika sifat melankolis dalam diri kita merajai seluruh rasa yang ada. Hingga ketika tersenggol sedikit, semua kenangannya dengan mudah berputar kembali dari titik semuanya bermula. Sehingga seringkali, seseorang yang mengalami amnesia, dapat kembali normal ingatanya dengan mengingat lebih dahulu kesedihan yang pernah ia alami. Sulit dan sakit memang melihat hal itu kembali berputar dalam ingatan, maka tidak menjadi suatu hal yang mengagetkan lagi bila STRESS menjadi salah satu penyebab utama penyakit-penyakit komplikasi yang membawa pemiliknya menuju KEMATIAN.
Ketika ekspektasi kita terlalu tinggi, dengan mudah kita kecewa dan sedih. Semua hal diatas terjadi karena kita belum menyiapkan hati kita diawal untuk menerima kesedihan. Karena itu Allah selalu mengingatkan kita dalam keadaan sulit maupun senang kita harus menyiapkan dua hal : rasa syukur dan sabar. Proses Cleansing dari seluruh masalah yang membuat hati kita gundah dan trauma yang mendalam sebenarnya bisa kita atur, dengan belajar menerima setiap kejadian yang ada. Bukan untuk dilupakan dan dibuang, tapi belajar menerima bahwa semuanya adalah bagian dari potongan mozaik dari hidup kita. Allah tahu yang terbaik buat hidup hambanya, maka yakini itu.
Tangisan bisa saja sejenak menghilangkan seluruh sedih, tapi tak menuntaskan luka sampai keakarnya. Karena itu hati-hati menjaga hati kawan, ketika harapan sedang kita rajut, jangan lupa bahwa dunia ini seimbang, disamping kesuksesan selalu ada kegagalan, sehingga setiap saat kita harus menyiapkan dua hati, menerima kesenangan atau menerima kesedihan. Kekecewaan yang akhirnya hadir dalam diri kita, jangan sampai membawa kita pada kebencian terhadap suatu hal. Cobalah berfikir dari sudut pandang yang berbeda dengan bertanya pada diri, apa saja yang telah kita lakukan untuk membantu semuanya sesuai harapan? Jangan sampai kita menjadi penikmat saja yang mudah sekali kecewa dalam berbagai keadaan. Semua hal yang negatif di dunia ini memang menyakitkan, tapi setiap bagiannya pasti memiliki hikmah yang kelak bisa kita syukuri.
Sehingga sekeruh apapun dunia kita, selalu ada motivasi dalam diri untuk tetap berdiri dengan tegar untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada. Tidak ada masalah yang melebihi kuasa hambaNya, jelas tertulis dalam Alqur’an. Maka kuatkan dan lapangkan bahu untuk menerima setiap beban yang ada, dan pelan-pelan membawanya dengan tenang dan rapih. Sehingga kenangan tak lagi jadi musuh yang jahat, yang dengan mudah menyedot semua kebahagian yang telah terpahat dalam memori kita. Semangat mengkondisikan hati ! Biarkan ia ada dan siap untuk bisa menerima semua hal yang masih menjadi rahasia langit..


Minggu, 08 Desember 2013

Strategi Mengatasi Kontroversi Sertifikasi Halal pada Obat


Penduduk Indonesia mencapai 235 juta jiwa, di mana ± 200 juta di antaranya adalah pemeluk Islam. Sehingga, pada era mendatang, konsumen akan semakin kritis. Kesadaran terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi menjadi hal utama. Hasil survei LPPOM MUI pada 2009 menunjukkan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap produk halal mencapai 70%, dan meningkat menjadi 92% pada akhir 2010. Sayangnya, tingginya minat dan kepedulian masyarakat terhadap produk halal belum diiringi dengan jumlah produk halal yang beredar di pasaran. Saat ini produk yang telah bersertifikat halal MUI baru mencapai  36,37%, dari 113.515 unit produk makanan teregristrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang bersertifikat halal MUI hanya mencapai 41.695 jenis produk. (halalwatch.com)
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 173, “Hanya yang diharamkan atas kamu ialah bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah melainkan dengan nama berhala. Tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya (mengkonumsinya), sedang ia tiada aniaya dan tiada pula melampaui batas, maka tak ada dosa terhadapnya. Sungguh Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“.
Abdul Razak, Sekjen MUI menegaskan tidak ada toleransi baik bagi obat-obatan maupun makanan untuk terstandarisasi dari segi kehalalannya. Konsumen Indonesia mempunyai hak untuk mendapat perlindungan terkait jaminan apa yang dikonsumsinya. Obat memang berbeda dengan makanan, bila makanan masyarakat punya pilihan untuk membeli atau membuat sendiri, sedangkan obat, tidak bisa dibuat dirumah seperti makanan, hanya seorang ahli farmasi yang bisa dan mempunyai hak untuk membuat obat. Saat masyarakat sakit dan mendapat resep obat dari dokter, tanpa berfikir halal dan haram pasti akan dikonsumsi oleh masyarakat yang sakit agar mendapat kesembuhan. Karena itulah, masyarakat Indonesia menuntut RUU Sertifikat Halal pada Obat segera disahkan.
Pernyataan  tegas Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi tentang ketidak setujuannya dalam sertifikat halal pada produk obat membuat masyarakat semakin bingung, ada saja yang berpendapat bahwa itu merupakan salah satu cara Menkes mengalihkan isu PKN (Pekan Kondom Nasional) yang sebelumnya mendapat penolakan besar-besaran pula oleh publik. Namun, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Maura Linda Sitanggang mendukung pernyataan Menteri Kesehatan tersebut dengan mengatakan tak mungkin melakukan sertifikasi halal pada obat-obatan. Formulasi sebuah obat begitu komplek. “Kementerian juga belum siap untuk melihat apakah ada unsur halal atau haram pada sebuah obat,” kata Maura di kantor Kementerian Kesehatan, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (6/12/2013).
Sebagai seorang farmasi saya mengakui bahwa obat-obatan memang berbeda dengan makanan. Untuk satu obat saja, butuh penelitian bertahun dan dana yang lumayan besar. Semenjak di bangku kuliah, kami memang tidak ditekankan untuk melihat kehalalalan asal bahan dasar obat, Namun di Farmasi UIN kami mendapat mata kuliah Kimia Makanan Halal yang didalamnya diajarkan bagaimana menganalisa kehalalan suatu produk dan bahan dasar apa saja yang memiliki titik kritis kehalalan.
Eksipien yang ada di Dunia saat ini memang dikuasai oleh barat, sehingga bukan asal bahan dasar pembuatanya  yang utama, namun sertifikat standarisasi keamanannya yang menjadi nomer pertama. Seorang farmasi memang diajarkan bagaimana cara membuat obat yang aman, dengan efikasi yang tinggi dan efek samping yang minim. Sehingga mungkin saja ilmuwan barat memilih menggunakan bahan yang tidak halal karena memang hanya bahan tersebutlah yang menimbulkan efek samping yang sedikit, contohnya vaksin virus yang masih menggunakan darah sebagai kulturnya dan enzim babi sebagai katalisatornya.
Akar dari permasalahannya menurut saya pribadi adalah, mendukung pernyataan prof. Hasbullah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,  yang menyatakan bahwa saat ini hampir 95 persen bahan baku obat merupakan impor. Sehingga untuk memastikan kehalalan bahan baku obat, harus langsung ke industri yang terkait misal ke Amerika Serikat atau Eropa. Sehingga sampai detik ini yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Indonesia adalah menjamin mutu bahan-bahan import tersebut dengan melakukan tes khasiat keamanan dan mutu oleh BPOM.
Ibu Maura juga menambahkan : Tenaga ahli, bisa saja memilih komponen halal sejak awal pembuatan obat. “Tapi kami akan mengalami kesulitan jika mencari sesuatu yang tak ada alternatifnya,” kata dia. Sebenarnya, ahli farmasi sejak awal bisa menghindari bahan yang tak halal. “Tapi new chemical entity yang ada bukan buatan Indonesia.” Sehingga, pemerintah tak bisa mengontrolnya. Wacana sertifikasi halal ini juga banyak menuai kontra dari produsen bahan farmasi, karena dinilai akan mematikan industri farmasi, terutama skala industri kecil menengah.
Sehingga saat tahu kedudukan dari permasalahan ini, menurut saya pribadi adalah RUU Jaminan Produk Halal ini tetap saja harus disahkan dengan diikuti langkah-langkah strategis dari pemerintah Indonesia. Sampai kapan pemerintah akan membiarkan obat-obatan di Indonesia terkesan abu-abu? Masyarakat butuh kepastian, karena selain mengandung babi atau dalam prosesnya menggunakan babi, masih ada bahan dasar lainya yang juga memiliki titik kritis kehalalan, contohnya gelatin sapi yang harus dipastikan sapi tersebut disembelih menggunakan nama Allah atau tidak, obat yang mengandung darah dan bisa hewan buas, contohnya ular, dan lain-lain.
Langkah-langkah dalam penyelesaian masalah ini harus sudah dipikirkan oleh Pemerintah, sehingga ada progress yang akan membawa perubahan dikedepannya, bukan hanya menilai kesulitan dan membiarkan keadaan tetap seperti ini. Menurut saya langkah strategi yang diperlukan adalah pertama, dengan membentuk tim penelitian khusus agar Indonesia dapat memproduksi bahan baku sendiri dan menciptakan bahan-bahan baku yang halal baik dari tanaman atau hewan yang halal di konsumsi. Kedua, ketika pemerintah mewajibkan Industri farmasi untuk mensertifikasi halal pada produknya, maka pemerintah harus berkomitmen dengan memudahkan birokrasi dan mengalokasikan dana dalam pengaudit-an yang diadakan terus menerus dan berkelanjutan, sehingga industri tidak mempunyai alasan dengan merasa terbebani dalam pembiayaannya. Ketiga, menanamkan kepada mahasiswa farmasi atau apoteker akan pentingnya memilih asal bahan baku yang halal pada obat, sehingga mahasiswa akan menjadi garda terdepan pula dalam meneliti bahan-bahan yang dapat menjadi bahan baku dalam obat dan akhirnya Indonesia dapat memproduksi obat-obatan sendiri.
Program BPJS yang akan diadakan 1 Januari mendatang menjadi sorotan karena di program tersebutlah, masyarakat yang sakit akan diberikan obat oleh dokter sesuai dengan ketersediaan produk obat tersebut di Indonesia. Selama proses pencarian obat-obat halal sebagaimana strategi yang saya tawarkan diatas, maka obat yang haram bisa saja dikatakan darurat dan boleh dikonsumsi pasien untuk mencapai kesembuhan. Namun, pilihan akhir kembali diberikan kepada pasien, pasien yang berhak memilih apa saja yang akan ia konsumsi.