Minggu, 08 Desember 2013

Strategi Mengatasi Kontroversi Sertifikasi Halal pada Obat


Penduduk Indonesia mencapai 235 juta jiwa, di mana ± 200 juta di antaranya adalah pemeluk Islam. Sehingga, pada era mendatang, konsumen akan semakin kritis. Kesadaran terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi menjadi hal utama. Hasil survei LPPOM MUI pada 2009 menunjukkan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap produk halal mencapai 70%, dan meningkat menjadi 92% pada akhir 2010. Sayangnya, tingginya minat dan kepedulian masyarakat terhadap produk halal belum diiringi dengan jumlah produk halal yang beredar di pasaran. Saat ini produk yang telah bersertifikat halal MUI baru mencapai  36,37%, dari 113.515 unit produk makanan teregristrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang bersertifikat halal MUI hanya mencapai 41.695 jenis produk. (halalwatch.com)
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 173, “Hanya yang diharamkan atas kamu ialah bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah melainkan dengan nama berhala. Tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya (mengkonumsinya), sedang ia tiada aniaya dan tiada pula melampaui batas, maka tak ada dosa terhadapnya. Sungguh Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“.
Abdul Razak, Sekjen MUI menegaskan tidak ada toleransi baik bagi obat-obatan maupun makanan untuk terstandarisasi dari segi kehalalannya. Konsumen Indonesia mempunyai hak untuk mendapat perlindungan terkait jaminan apa yang dikonsumsinya. Obat memang berbeda dengan makanan, bila makanan masyarakat punya pilihan untuk membeli atau membuat sendiri, sedangkan obat, tidak bisa dibuat dirumah seperti makanan, hanya seorang ahli farmasi yang bisa dan mempunyai hak untuk membuat obat. Saat masyarakat sakit dan mendapat resep obat dari dokter, tanpa berfikir halal dan haram pasti akan dikonsumsi oleh masyarakat yang sakit agar mendapat kesembuhan. Karena itulah, masyarakat Indonesia menuntut RUU Sertifikat Halal pada Obat segera disahkan.
Pernyataan  tegas Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi tentang ketidak setujuannya dalam sertifikat halal pada produk obat membuat masyarakat semakin bingung, ada saja yang berpendapat bahwa itu merupakan salah satu cara Menkes mengalihkan isu PKN (Pekan Kondom Nasional) yang sebelumnya mendapat penolakan besar-besaran pula oleh publik. Namun, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Maura Linda Sitanggang mendukung pernyataan Menteri Kesehatan tersebut dengan mengatakan tak mungkin melakukan sertifikasi halal pada obat-obatan. Formulasi sebuah obat begitu komplek. “Kementerian juga belum siap untuk melihat apakah ada unsur halal atau haram pada sebuah obat,” kata Maura di kantor Kementerian Kesehatan, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (6/12/2013).
Sebagai seorang farmasi saya mengakui bahwa obat-obatan memang berbeda dengan makanan. Untuk satu obat saja, butuh penelitian bertahun dan dana yang lumayan besar. Semenjak di bangku kuliah, kami memang tidak ditekankan untuk melihat kehalalalan asal bahan dasar obat, Namun di Farmasi UIN kami mendapat mata kuliah Kimia Makanan Halal yang didalamnya diajarkan bagaimana menganalisa kehalalan suatu produk dan bahan dasar apa saja yang memiliki titik kritis kehalalan.
Eksipien yang ada di Dunia saat ini memang dikuasai oleh barat, sehingga bukan asal bahan dasar pembuatanya  yang utama, namun sertifikat standarisasi keamanannya yang menjadi nomer pertama. Seorang farmasi memang diajarkan bagaimana cara membuat obat yang aman, dengan efikasi yang tinggi dan efek samping yang minim. Sehingga mungkin saja ilmuwan barat memilih menggunakan bahan yang tidak halal karena memang hanya bahan tersebutlah yang menimbulkan efek samping yang sedikit, contohnya vaksin virus yang masih menggunakan darah sebagai kulturnya dan enzim babi sebagai katalisatornya.
Akar dari permasalahannya menurut saya pribadi adalah, mendukung pernyataan prof. Hasbullah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,  yang menyatakan bahwa saat ini hampir 95 persen bahan baku obat merupakan impor. Sehingga untuk memastikan kehalalan bahan baku obat, harus langsung ke industri yang terkait misal ke Amerika Serikat atau Eropa. Sehingga sampai detik ini yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Indonesia adalah menjamin mutu bahan-bahan import tersebut dengan melakukan tes khasiat keamanan dan mutu oleh BPOM.
Ibu Maura juga menambahkan : Tenaga ahli, bisa saja memilih komponen halal sejak awal pembuatan obat. “Tapi kami akan mengalami kesulitan jika mencari sesuatu yang tak ada alternatifnya,” kata dia. Sebenarnya, ahli farmasi sejak awal bisa menghindari bahan yang tak halal. “Tapi new chemical entity yang ada bukan buatan Indonesia.” Sehingga, pemerintah tak bisa mengontrolnya. Wacana sertifikasi halal ini juga banyak menuai kontra dari produsen bahan farmasi, karena dinilai akan mematikan industri farmasi, terutama skala industri kecil menengah.
Sehingga saat tahu kedudukan dari permasalahan ini, menurut saya pribadi adalah RUU Jaminan Produk Halal ini tetap saja harus disahkan dengan diikuti langkah-langkah strategis dari pemerintah Indonesia. Sampai kapan pemerintah akan membiarkan obat-obatan di Indonesia terkesan abu-abu? Masyarakat butuh kepastian, karena selain mengandung babi atau dalam prosesnya menggunakan babi, masih ada bahan dasar lainya yang juga memiliki titik kritis kehalalan, contohnya gelatin sapi yang harus dipastikan sapi tersebut disembelih menggunakan nama Allah atau tidak, obat yang mengandung darah dan bisa hewan buas, contohnya ular, dan lain-lain.
Langkah-langkah dalam penyelesaian masalah ini harus sudah dipikirkan oleh Pemerintah, sehingga ada progress yang akan membawa perubahan dikedepannya, bukan hanya menilai kesulitan dan membiarkan keadaan tetap seperti ini. Menurut saya langkah strategi yang diperlukan adalah pertama, dengan membentuk tim penelitian khusus agar Indonesia dapat memproduksi bahan baku sendiri dan menciptakan bahan-bahan baku yang halal baik dari tanaman atau hewan yang halal di konsumsi. Kedua, ketika pemerintah mewajibkan Industri farmasi untuk mensertifikasi halal pada produknya, maka pemerintah harus berkomitmen dengan memudahkan birokrasi dan mengalokasikan dana dalam pengaudit-an yang diadakan terus menerus dan berkelanjutan, sehingga industri tidak mempunyai alasan dengan merasa terbebani dalam pembiayaannya. Ketiga, menanamkan kepada mahasiswa farmasi atau apoteker akan pentingnya memilih asal bahan baku yang halal pada obat, sehingga mahasiswa akan menjadi garda terdepan pula dalam meneliti bahan-bahan yang dapat menjadi bahan baku dalam obat dan akhirnya Indonesia dapat memproduksi obat-obatan sendiri.
Program BPJS yang akan diadakan 1 Januari mendatang menjadi sorotan karena di program tersebutlah, masyarakat yang sakit akan diberikan obat oleh dokter sesuai dengan ketersediaan produk obat tersebut di Indonesia. Selama proses pencarian obat-obat halal sebagaimana strategi yang saya tawarkan diatas, maka obat yang haram bisa saja dikatakan darurat dan boleh dikonsumsi pasien untuk mencapai kesembuhan. Namun, pilihan akhir kembali diberikan kepada pasien, pasien yang berhak memilih apa saja yang akan ia konsumsi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar