Kamis, 26 Juli 2012

#cerpen keenam


Cinta Nosokomial
Oleh: Yusna Fadliyyah Apriyanti

            “Satu dua tiga”. Tet..tett..tett. irama detak jantung dari alat EKG (Elektrokardiografi) mulai terdengar lagi, setelah sempat semuanya terhenti pada satu tangga nada. Semua dokter yang sedang mengambil tindakan lega sudah, akhirnya untuk kesekian kalinya Allah memberikan kesempatan Rara untuk hidup kembali setelah melewati masa-masa kritis. Yah, perempuan berumur 22 tahun yang sedang berjuang keras untuk mempertahankan apa yang menjadi cita-citanya, memberikan kesempatan untuk penerus hidupnya yang akan menjadi cahaya baru bagi kehidupan. Membuat semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dengan melawan ketidak seimbangan cairan yang ada di tubuhnya, yang membuat tubuhnya lemas tanpa tenaga untuk melahirkan kedua buah hatinya. Melawan penyakit gagal ginjal.
***
            Kamar 402 menjadi sejarah perjuangan gadis bernama Rara melewati takdir hidup yang telah digariskan untuknya. Pasien gagal ginjal yang menjalani rangkaian terapi setelah 1 tahun yang lalu terjadi glomerulonefritis (radang pembuluh darah ginjal). Penyakit ini berkembang cepat, walau hanya terjadi pada 1 ginjal, tapi penyakit ini  sering sekali mengantar Rara kedalam tahap koma. Tubuhnya semakin kurus dan mengalami pembengkakan pada beberapa lekuk tubuhnya.
“Apa kabar mbak Rara? Apakah sudah baikan?”. Sapa Rio, perawat di rumah sakit tempat Rara di rawat. Ibu langsung memanggil perawat setelah Rara memberikan tanda-tanda kesadarannya. Rara tampak sedang memulihkan pikirannya. Ia tenang, mendapati ibu masih ada di sisinya.
            “Alhamdulillah baik Mas Rio, berapa lama saya tak sadarkan diri?”.
            “Satu minggu mbak Rara, kali ini lebih cepat dari biasanya. Dokter bilang mbak Rara punya nyawa banyak. Terus berjuang mbak”. Seperti biasa, Mas Rio selalu memberikan semangat. Entah mengapa, sapaan dan ekspresi itulah yang selalu Rara nantikan disetiap bangun dari koma beberapa bulan ini. Selalu ada Rio disaat awal membuka mata. Entah ini kali berapa ia masih bisa bersyukur atas kehidupan yang masih bisa ia rasakan.
***
            Dear Diary,
            Aku rasa ajalku kian tiba. Tapi sebelum itu semua, ingin rasanya sesaat keluar dari kekangan penderitaan ini. Melihat senja yang terang benderang di luar sana bersama sesosok pangeran berkuda putih yang selalu menemani. Dan akhirnya berlabuh ditiupan nafas terakhir yang lembut dengan ketenangan hati. Adakah kiranya Sang Maha cinta memberikan aku kesempatan untuk memiliki cinta?
            Kata-kata terakhir yang Rara tulis sebelum Ia kembali koma. Kali ini ginjal sebelah kirinya mulai merasakan hal yang sama. Sulit memang jika harus mengerjakan fungsi dua ginjal pada satu ginjal. Ibu menyadari ada setetes air mata mengalir dari pipi putrinya. Ia tahu betapa berat kenyataan ini harus ia pikul seorang diri.
            Rara dipindah ke ruang ICU agar mendapat penanganan yang lebih intensif. Rio yang bertugas menjaga malam itu. Ibu tak sengaja membuka buku kecil dibawah bantal Rara dan membaca harapan kecil malaikatnya. Cuma satu cita-cita yang melingkupinya saat itu, ia harus mencarikan lelaki terbaik yang bisa menerima Rara apa adanya.
            “Assalamu’alaikum bu, kenapa terlihat begitu murung?”. Rio memecahkan lamunan Ibu sekaligus membawakan secangkir kopi untuk Ibu.
            “Wa’alaikumsalam Rio, kamu sedikit mengagetkan ibu”. Jawab ibu mengakhiri kata-katanya dengan menyunggingkan sebuah senyuman
            “Maaf bu, saya lihat belakangan ini ibu sedang banyak pikiran, adakah hal lain yang sedang mengusik ketenangan ibu?”. Rio mulai membuka percakan serius itu. Ibu memilih menyodorkan diari Rara karena tak sanggup menceritakannya.
            “Lalu apa masalahnya bu?”. Ibu heran dengan pertanyaan Rio, sulitkah ia memahami perasaan anaknya saat ini.
            “Ibu harus mencarikan lelaki terbaik untuk Rara, tetapi masih adakah seseorang yang dapat  menerima pujaan hati yang kabarnya tak menetu? Tiap detiknya, ada hal baru yang harus siap ia terima. Rara gadis lemah yang menantikan lelaki perkasa mendampinginya”. Mata Ibu mulai meleleh. Semua kegelisahan itu mulai berani ia ungkapkan.
            “Saya bersedia menikahi Rara dan menerima keadaan Rara apa adanya”. Ungkap Rio dengan mantap. Sudah tiga bulan lamanya ia ingin mengungkapkan ini semua. Memberitahukan tentang tekadnya melamar Rara. Tapi memang Allah selalu tahu cara yang paling tepat dalam menghadapi rasa ini.
***
            Keadaan Rara kembali normal. Walau masih dalam pengawasan, dokter mengizinkan Rara untuk keluar dari kamar dan menyaksikan Rio yang menyatakan ijab-qobul di depan penghulu dan ayah Rara yang juga disaksikan oleh para perawat lainnya. Mengejutkan memang, pertama dalam sejarah berdirinya rumah sakit, ada pasien yang melaksanakan pernikahannya di lantai tempat kamar rawat inap. Suasana haru dibuatnya, para perawat menyalami Rara dan Rio serta bergantian memberikan doa. Badai mengerikan akan penyakit yang sedang menjadi beban seakan hilang. Rara merasa lebih kuat dengan kehadiran Rio yang memasuki relung batinnya.
            Ajaibnya, keadaan Rara berkembang pesat. Nampaknya hormon serotonin banyak mengambil alih dari perkembangan keadaanya. Rara akhirnya diperbolehkan dokter meninggalkan rumah sakit setelah berjanji akan segera kembali saat sakitnya terasa. Ibu yang menjadi saksi akan tahapan kebahagiaan Rara merasa puas dengan pilihannya. Ia yakin, telah memilih orang yang pas untuk disandingkan dengan putri malangnya. Semoga si putri yang malang menjadi permaisuri setelah angannya tercapai.
            Rara dan Rio tetap tinggal bersama Ibu, itu semua atas permintaan Ibu yang masih ingin menjaga Rara saat Rio harus melaksanakan jam malamnya. Rara berusaha menjadi istri yang baik untuk Rio. Selalu menjaga kesehatan seperti setiap pesan Rio sehabis mengecup jidat Rara saat pamit berangkat kerja.
***
Sang Maha Sempurna memang selalu punya skenario yang tak disangka. Rara bisa kembali hidup normal dengan ginjal yang sudah dicangkokan dalam tubuhnya. Menjalani kehidupan seperti wanita normal adalah impian untuk setiap orang yang sedang merasakan sakit. Walau terkadang untuk mendapatkannya harus dibayar dengan harga yang mahal. Rara tahu memang ginjal barunya itu tidak menyembuhkan penyakit, namun dapat menghindarkannya melakukan prosedur kesehatan tetap seumur hidup seperti cuci darah yang harus ia lakukan setiap 2 minggu. Walau hanya sebagai pengganti, tapi ia bahagia karena dapat melewati harinya lebih banyak bersama Rio. Rio selalu ada mendampingi hari-hari Rara. Perjalanan cinta tanpa diawali noda, tak perlu diperruwet dengan masalah percintaan, toh mereka memang berjodoh pada akhirnya. Hanya sekedar sama-sama bersimpati, akhirnya timbul sebuah niat suci untuk saling menjaga.    
Dear diary,
            Hariku membaharu dengan kehadiran pangeranku yang perkasa. Tak perlu penjelasan tanpa ragu, karena akupun tergugu dibuatnya. Tak perlu naluri untuk mendapatkan perhatian karena selalu ia berikan lebih dari apa yang kuharapkan. Aku bahagia dan bersyukur dengan takdirku mendapatkan cinta. Walau cinta nosokomial yang kudapat tapi tidak ada pihak yang merasa menderita karena yang dihasilkan adalah simbiosis metualisme. Cintaku mungkin ditakdirkan dimulai di rumah sakit tapi mahligai-mahligai rasa cinta selalu ku rasakan tiap detik bersamanya. Terimakasih Allah..
***
Kebahagian itu semakin sempurna dengan tanda-tanda kehamilan yang dialami Rara setelah 1 tahun dengan ginjal barunya. Rara dinyatakan dokter positif hamil, Sungguh bahagia mendengar kabar itu.         Cita-cita bagi semua pasangan hidup adalah memiliki keturunan. Rio tak pernah mengharapkan banyak hal, bahkan untuk memiliki seorang anak dari istrinya yang mengalami penyakit ginjal. Disamping kebahagiaan yang memuncak, sebuah kekhawatiran datang menerpa, tapi cepat-cepat ia tepis dengan keyakinan saat menatap wajah bahagia istrinya. Baginya kebahagiaan sempurna yang tampak di wajah Rara cukup menjadi penguat dan menyadarkannya bahwa khawatir bukan berarti harus menyakit Rara dengan perasaan campur aduknya.
***
           
Dear diary
Mungkin saat ini lilin kesempatanku semakin meleleh. Aku kembali merasakan seperti awal. Walau tak pasti, tapi rasa sakit ini telah melekat dalam kamus kehidupanku. Aku kembali merasakan sakit itu, penyakit yang mempertemukanku dengan pangeranku. Ya Allah, masihkan kau beri aku waktu untuk membahagiakan ia? Masihkan kau beri aku kesempatan untuk mengguyur kedua bidadariku dengan cinta dan harapan? Begitu banyak rahmat yang Kau beri, masihkah ada tempatku untuk meminta satu harapan itu? harapan untuk bisa membahagiakan semua orang yang mencintaiku.
Dengan kekuatan cintanya, Rara berhasil menutupi semua yang ia rasakan dan berhasil melewati hari-hari dengan kesakitan yang kembali menghampiri. Rara kembali menetap di rumah sakit dan mendapatkan pengawasan penuh oleh dokter. Akibat kehamilan, ginjal barunya semakin memburuk dan fungsi ginjalnya menurun. Akhirnya dokter memutuskan Rara untuk menjalani hemodialysis (cuci darah) kembali.
Keadaan normal masih bisa ia pertahankan dengan kekuatan do’anya hingga bulan ke 7 kehamilan. Semakin membesar perutnya, menandakan semakin meningkat pula cairan yang dibutuhkan oleh janinnya. Hal itu diperburuk dengan terjadinya kelainan imunitas akibat tubuhnya kembali menganggap ginjal barunya itu adalah organ asing. Penyakitnya berlanjut pada komplikasi kardiovaskular (jantung). Dan harus mengantarkan Rara kembali pada keadaan koma. Koma yang membuat semua orang menunggu khawatir, sedih serta bangga dengan perjuanganya. Tidak banyak wanita yang memiliki penyakit ginjal, yang masih bisa mempertahankan kehamilannya hingga bulan ke 7 seperti Rara.
***
            Tiba saatnya semua tubuh Rara lemas tak berdaya, seakan dunia terhenti sesaat dan menyalahkanya karena mengambil keputusan besar untuk hamil. Tapi genggaman hangat Rio selalu menguatkanya dan memberikan energi positif untuk terus memperjuangkan buah hati yang sedang ada dalam rahimnya.
            Semua alat jantung menempel pada tubuhnya yang tak berdaya, ritmik alat EKG itu terdengar malas memberikan grafiknya. Sayup-sayup ia melihat dokter sedang ramai melakukan suatu hal untuk menolongnya. Dokter mengambil keputusan untuk mengeluarkan bayi itu melewati jalan operasi. Sesaat kemudian tangisan bayi itu terdengar nyaring, kepuasan dan kebahagiaan kemudian mampu membuat alam bawah sadarnya memerintahkan untuk membuat sebuah senyuman sebagai sambutan terhadap dua buah hati, yah Rara melahirkan bayi kembar. Bayi itu segera disambut oleh adzan yang dikumandangkan oleh Rio, walau bukan sebuah sunnah Rasulullah, tapi itu menjadi kebiasaan di keluarganya.
            “Sayang, bayi kita telah lahir. Dua perempuan kuat seperti ibunya”. Bisik Rio ditelinga Rara, walau masih dalam pengaruh anastesi (obat bius), tapi tetap saja bisikan itu bisa menembus alam bawah sadarnya dan mengeluarkan tetesan air mata kebahagiaan.
***
Rara bahagia dan selalu bersyukur akan takdir yang diberikanNya untuknya. Ia masih diberikan kesempatan oleh Allah menatap kedua buah hatinya lekat-lekat serta memberikan kecupan kebahagiaan disetiap dahi puterinya. Dua malaikat yang mampu menghilangkan semua rasa sakit pada tubuhnya. Rio tak sanggup menahan haru, ia mengecup kening Rara dan terus menderaskan air mata kebahagiaan. Ibu hanya bisa menonton itu sambil menutup mulutnya takjub, bahkan tak pernah ia bayangkan anaknya bisa melewati saat-saat seperti ini.
***
Operasi besar tadi cukup mengeluarkan banyak darah Rara, hingga tubuhnya mengalami kekurangan cairan tubuh dan kekhawatiran itu menampakkan wujudnya kembali, keadaan Rara kembali memburuk. Rara kembali tidak sadarkan diri, Rio dengan sigap memanggil dokter kembali. Ibu kemudian mengantarkan kedua cucunya kembali ke ruang bayi yang tidak jauh dari kamar ruang operasi Rara.
Ibu memandangi kaca ruang operasi dari luar, sedikit mengintip dengan tindakan yang diberikan kepada putrinya yang malang. Walau perih, ibu beruasaha lebih tegar menghadapi semuanya. Tak lupa do’a selalu ia lontarkan dalam tiap bisikan nafasnya. Sudah ketiga kali alat itu menyetrum dada putrinya tanpa memberikan irama lain. Menyerahkan pada Allah adalah solusi terbaiknya. Ibu tetap menjaga kedua cucunya yang sedang terlelap tenang, lugu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Ibu mengecup pipi keduanya secara bergantian. Ia tahu apa yang harus ia lakukan ketika akhirnya dengan muka lesu dokter harus mengatakan.
            “Maaf bu, Rara sudah tenang di alam sana. Kami telah melakukan tindakan seoptimal mungkin dan semua kembali kepada kuasa-Nya. Ikhlaskan Rara bu, kami semua merasa simpati atas perjuangan Rara selama ini, kekuatan yang jarang dimiliki penyandang gagal ginjal, hingga Allah sempat memberi ia kesempatan melahirkan bayi kembar dalam keadaan sehat”. Ibu hanya tersenyum mengiyakan. Dari jauh hari, sudah ia persiapkan setiap detik keputusan Allah terhadap putrinya. Walau tak dipungkiri matanya deras oleh kesedihan yang mengalir.
            Rio jatuh dalam kepasrahan. Memperkuat benteng pertahanannya saat menyadari keputusan Ilahi. Meyakini takdir dan dengan kuat menghampiri tubuh pucat Rara yang tersenyum tenang. Ia kecup jidatnya lama, ada cinta yang mengalir di sana. Walau Allah hanya memberikan waktu tiga tahun bersama, tapi Rara hadir bagai pelita yang menerangi hari-hari Rio. Menggelari kehidupannya dengan kaca mata terindah. Kesetiaan dan keharmonisan yang merasuk tanpa memabukkan selalu ia berikan. Walau berat, Rio akhirnya tenang karena bisa menjadi pangeran yang menemani Rara hingga berlabuh ditiupan nafas terakhir yang lembut.
            “Terimakasih sayang, Semoga kau tenang di sana. Aku janji akan membesarkan anak-anak kita dengan cinta dan harapan, agar mereka bisa menjadi seorang wanita kuat seperti ibunya. Tiga tahun yang sulit kulupakan dan akan menjadi pelajaran bagiku untuk selama-lamanya”.

1 komentar: